Pengamat: Kalau Kepala Daerah Dipilih DPRD, Sekalian Saja Presiden Dipilih MPR!

- Rabu, 30 Juli 2025 | 13:55 WIB
Pengamat: Kalau Kepala Daerah Dipilih DPRD, Sekalian Saja Presiden Dipilih MPR!




GELORA.ME - Wacana pemilihan kepala daerah oleh DPRD atau penunjukan langsung oleh pemerintah pusat terus menuai kontroversi. 


Pengamat politik Adi Prayitno melontarkan kritik pedas dengan mengajukan pertanyaan provokatif: jika alasannya efisiensi dan menghindari politik uang, mengapa tidak sekalian presiden dipilih MPR seperti era Orde Baru?


Usulan pemilihan kepala daerah melalui dua mekanisme alternatif—dipilih DPRD atau ditunjuk pemerintah pusat—telah memicu beragam respons di kalangan DPR, politisi, dan pemerintah. 


Wacana ini muncul bersamaan dengan putusan Mahkamah Konstitusi yang memisahkan pemilu pusat dan daerah.


“Ada yang menganggap usulan ini layak didiskusikan untuk memperbaiki kualitas Pilkada. Tapi ada juga yang menyarankan jangan terlalu terburu-buru menyederhanakan persoalan dengan cara memilih kepala daerah oleh segelintir DPRD,” ujar Prayitno lewat akun YouTube-nya, kemarin.


Para pendukung usulan ini berargumen bahwa pemilihan langsung rentan terhadap politik uang, menciptakan fragmentasi masyarakat, membuat daerah bergantung pada pusat, dan memboroskan anggaran negara.


Adi menolak tegas argumen tersebut dengan mengangkat pengalaman sejarah Indonesia. 


“Kita perlu mengingat, dulu pada masa Orde Baru, kepala daerah ditunjuk pemerintah pusat. Apa hasilnya? Justru terjadi sentralisasi kekuasaan,” tegasnya.


Menurutnya, sistem penunjukan pada era Orde Baru justru membuat aspirasi daerah tidak terdengar dan pembangunan ekonomi daerah stagnan. 


“Segala sesuatu di daerah didoktrin oleh kepentingan pusat. Aspirasi dari bawah tidak pernah didengarkan karena kepentingannya Jakarta-sentris.”


Indonesia baru 20 tahun menikmati pemilihan langsung kepala daerah sejak 2005. 


“Memang ada evaluasi soal politik uang dan fragmentasi, tapi terlalu buru-buru menyimpulkan bahwa solusinya kembali ke sistem lama,” kritik Adi.


Adi kemudian melontarkan kritik satiris yang mencuat dalam diskusi publik. 


Jika alasan utamanya adalah menghindari politik uang, fragmentasi, dan efisiensi biaya, mengapa hanya berlaku untuk Pilkada?


“Bukankah di Pilpres juga ada politik uang? Bukankah Pilpres juga membelah masyarakat dengan fenomena ‘cebong vs kampret’? Pemilu juga berbiaya mahal dan menghabiskan APBN,” ujarnya.


Dengan nada satiris, Prayitno mengusulkan: Presiden dan wakil presiden dipilih MPR saja (efektif dan efisien), KPU dan Bawaslu dibubarkan (menganggur 4,5 tahun menunggu pemilu), dan Partai politik dibatasi hanya 2-3: Islam, nasionalis, dan nasionalis religius.


“Mau sederhana kan? Mau efisien kan? Ya itu solusinya. Tutup mata dengan aspirasi rakyat, tutup mata dengan pendapat masyarakat,” sindir Prayitno.


Kritik paling keras Prayitno ditujukan pada motif di balik usulan ini. 


Menurutnya, wacana ini menunjukkan para politisi dan kontestan sudah takut menghadapi rakyat langsung.


“Rakyat 20-25 tahun menikmati kemewahan memilih pemimpinnya secara langsung. Ini kemewahan seumur jagung. Rakyat tidak pernah meminta kemewahan lain kecuali memilih pemimpinnya sendiri,” tegasnya.


Adi menekankan bahwa rakyat dalam kondisi alamiah sebenarnya guyub dan saling bersahabat, tidak peduli partai atau pilihan politik. 


“Yang menimbulkan gonjang-ganjing adalah ketika ada supply dari elit dengan isu suku, agama, nasionalis vs tidak nasionalis.”


Pengamat politik ini menunjuk elit sebagai biang kerok masalah.


“Kuncinya di partai politik. Mereka yang buat undang-undang, mereka yang buat aturan, dan mereka juga pemainnya. Jangan rakyat yang disalahkan dan dijadikan korban.”


“Jika setiap pemilu rakyat tidak dikasih uang, mereka tetap datang ke TPS. Rakyat hanya menerima apa adanya, cenderung jadi objek dan diperalat untuk kepentingan elit,” kritiknya.


Adi menutup analisisnya dengan peringatan keras. 


“Jangan korbankan rakyat dan kemewahan mereka memilih pemimpin secara langsung dengan alasan yang terlalu terburu-buru.


Ia menegaskan bahwa usulan ini sesungguhnya mencerminkan ketakutan elit politik menghadapi kontrol langsung dari rakyat. 


“Para politisi sudah takut menghadapi rakyatnya. Ini bukan solusi, ini kemunduran demokrasi.”


Dengan nada ironis, Adi menyimpulkan: “Kalau memang mau konsisten dengan logika efisiensi dan anti-politik uang, sekalian saja presiden dipilih MPR, partai politik dibatasi, dan lembaga pemilu dibubarkan. Sederhana kan?” tandasnya.


Sumber: JakartaSatu

Komentar