GELORA.ME - Badai politik tengah menerpa lingkaran Istana.
Ketika isu ijazah palsu Jokowi dan wacana pemakzulan Wakil Presiden (Wapres) Gibran Rakabuming Raka memanas, dua kutub kekuasaan menunjukkan reaksi yang kontras 180 derajat.
Presiden Prabowo Subianto memilih diam membisu, sebuah keheningan strategis yang memekakkan telinga.
Di sisi lain, Jokowi justru tampil ke depan, melawan dengan narasi terorganisir.
Ini bukan sekadar perbedaan gaya, melainkan sebuah kalkulasi politik tingkat tinggi untuk mengamankan kekuasaan.
Kontras sikap antara Presiden Prabowo Subianto dan pendahulunya, Jokowi, dalam merespons polemik yang mengemuka menjadi sorotan tajam.
Alih-alih angkat suara, Prabowo memilih untuk tidak berkomentar di tengah pusaran isu ijazah Jokowi dan wacana pemakzulan Gibran, sementara Jokowi mulai menunjukkan keresahannya secara terbuka.
Analis politik sekaligus Direktur Eksekutif Citra Institute, Yusak Farhan, membedah bahwa keheningan Prabowo bukanlah tanpa makna.
Sikap tersebut diyakini sebagai bagian dari strategi politik yang penuh perhitungan untuk menjaga stabilitas dan posisinya sendiri.
"Selama Prabowo tidak cawe-cawe atau secara vulgar membela Jokowi, saya kira gelombang perlawanan termasuk pemakzulan Gibran semakin membesar di kalangan masyarakat sipil," kata Yusak, Selasa (15/7/2025).
Menurut Yusak, langkah diam yang diambil Prabowo adalah manuver rasional di tengah kondisi politik yang tidak menentu.
Dengan tidak ikut campur, Prabowo secara efektif sedang memainkan taktik pengamanan kekuasaan.
Keuntungan Tersembunyi
Lebih dari itu, isu yang menyerang rival lamanya justru bisa menjadi keuntungan tersembunyi.
"Prabowo cenderung diam, khususnya dalam kasus ijazah palsu, karena itu menjadi kartu truf Prabowo. Bagaimanapun Prabowo pernah menjadi rival Jokowi. Jadi panggung depan dengan panggung belakang sering berbeda," lanjutnya.
Dinamika yang kini berkembang—mulai dari tuduhan pemalsuan ijazah hingga dorongan pemakzulan Gibran—adalah konflik berisiko tinggi.
Karena itu, menjadi wajar jika Prabowo memilih untuk tetap berada di luar pusaran, menunggu momentum yang paling tepat untuk bersikap.
"Saya kira itu taktik Prabowo untuk tidak mau masuk ke wilayah isu tersebut. Saat gelombang perlawanan terhadap Jokowi semakin membesar, cukup berisiko bagi Prabowo jika ikut cawe-cawe," jelas Yusak.
Sementara di sisi lain, Jokowi menempuh jalan yang sama sekali berbeda.
Dalam pernyataannya di Solo, Jawa Tengah, Presiden ke-7 RI itu secara terbuka menuding ada orkestrasi politik di balik serangan isu yang ditujukan untuk menjatuhkan reputasi dirinya dan keluarganya.
Pertahanan Diri Politis
Yusak membaca sikap perlawanan Jokowi ini sebagai bentuk pertahanan diri yang sangat politis.
Ketika tekanan datang dari berbagai arah, Jokowi dinilai tidak memiliki banyak pilihan selain membangun narasi bahwa ia adalah korban serangan lawan-lawan politiknya.
"Dalam kondisi terjepit, tak ada jurus ampuh bagi Jokowi kecuali terus memainkan kartu playing victim dalam menghadapi gempuran lawan-lawan politiknya," ujar Yusak.
Ia menekankan bahwa serangan terhadap Jokowi dan keluarganya perlu direspons cepat demi menjaga masa depan politik dinasti yang telah dibangun.
Jika tidak, dampak elektoralnya bisa sangat merusak.
"Kalau tidak disetop, Jokowi dan keluarganya—Gibran, Kaesang, Bobby—akan terjun bebas secara elektoral. Makanya Jokowi terlihat melawan," katanya.
Sumber: Suara
Artikel Terkait
BREAKING NEWS! Rismon Sianipar Laporkan Jokowi ke Polda DIY, Soal Apa Lagi?
Rocky Gerung Yakin Gibran Bakal Betah Ngantor di Papua: Asal Ada Tamiya, Aman!
Jokowi Curiga Agenda Besar di Balik Isu Pemakzulan Gibran: Benarkah Ada Upaya Pemisahan Dua Kekuatan Politik Ini?
Jokowi Belum Pulih Sekarang Mulai Main Perasaan