Mengapa Polisi Tak Mengusut Budi Arie Soal Beking Judi Online?

- Selasa, 01 Juli 2025 | 18:00 WIB
Mengapa Polisi Tak Mengusut Budi Arie Soal Beking Judi Online?




GELORA.ME - INDIKASI keterlibatan Budi Arie Setiadi menjadi beking judi online di Kementerian Komunikasi dan Informatika—kini Kementerian Komunikasi dan Digital—disebut berkali-kali dalam berita acara pemeriksaan (BAP). Sejumlah kesaksian di persidangan turut mempertebal dugaan itu.


Budi Arie tidak hanya diduga mengetahui praktik pelindungan situs web judi, tapi juga diduga terlibat dalam teknis pelaksanaan bekingnya. 


Paling tidak indikasi itu muncul dalam kesaksian terdakwa Zulkarnaen Apriliantony alias Tony. 


Kepada penyidik, Tony menceritakan pertemuannya dengan Budi di rumah dinas Menteri Kominfo kala itu di Widya Chandra, Jakarta Selatan, sekitar September atau Oktober 2023.


Laporan majalah Tempo edisi 29 Juni 2025 menuliskan bahwa Tony datang membawa flashdisk berisi daftar situs web judi online kelas menengah dan kecil yang hendak diblokir. 


Daftar tersebut merupakan titipan dari Cencen Kurniawan, pengusaha properti yang bersedia membantu “mengatur” situs-situs web tersebut. 


Cencen sebelumnya sudah bertemu dengan Budi dan menawarkan skema penyaringan situs web: yang kecil ditutup, yang besar dibiarkan.


Setelah menerima flashdisk itu, Budi disebut melontarkan kalimat, “Masak, situs sudah di-take down, tidak ada duit kopi untuk anak-anak?” 


Pernyataan ini, menurut pengakuan Cencen kepada penyidik, ditafsirkan sebagai kode permintaan uang.


Atas dasar itulah Cencen kemudian menyerahkan uang sebesar S$ 50 ribu atau sekitar Rp 500 juta kepada Tony. 


Uang itu dibungkus dalam kemasan kopi arabika dan diserahkan di sebuah restoran Jepang di kawasan Pantai Indah Kapuk, Jakarta Utara.


Selanjutnya Tony membawa uang tersebut ke rumah dinas Budi. Saat menyerahkan uang tersebut, ia berkata, “Nih, kopi buat Projo.”


Menanggapi ucapan Tony itu, Budi hanya berkata, “Tuh, taruh di situ saja,” sambil menunjuk ke arah karpet ruang tamu. 


Kuasa hukum Tony, Christian Arensen Tanuwijaya Malonda, membenarkan bahwa kliennya memang mengantarkan bingkisan kopi kepada Budi. Namun ia membantah bahwa isinya uang.


Setelah perkara ini masuk ke ranah hukum, Budi menghubungi Christian pada 18 Mei 2025. Mereka kemudian bertemu di sebuah rumah di Jakarta Selatan. 


Dalam pertemuan itu, Christian menunjukkan tumpukan BAP para tersangka. Dia membuka dokumen itu dan memperlihatkan nama Budi yang muncul berkali-kali. 


“Pak Budi Arie sempat marah,” kata Christian kepada Tempo, Selasa, 24 Juni 2025.


Budi keberatan atas kesaksian para tersangka. Menurut Christian, Budi menduga ada tekanan kepada para tersangka dalam memberi kesaksian di depan polisi. Budi menanyakan kemungkinan bisa bersaksi dan menyampaikan pembelaan dalam persidangan. 


Masalahnya, Budi hanya bisa bersaksi untuk meringankan atau memberatkan terdakwa, bukan membela diri. Keinginan bersaksi pun urung dilakukan.


Praktik ilegal di Kementerian Komunikasi itu terbongkar setelah polisi mengungkap perjudian daring yang dioperasikan di situs web “Sultan Menang” pada 19 Oktober 2024. 


Pemilik situs web itu mengaku menyetorkan sejumlah uang kepada pegawai Kementerian agar tidak diblokir.


Dari sanalah polisi mengungkap keterlibatan sejumlah pegawai Kementerian Komunikasi. Mereka memiliki "kantor satelit" di Bekasi, Jawa Barat. 


Dari tempat itu, mereka mengatur situs-situs web yang harus diblokir atau diamankan. Dari 24 tersangka yang diseret ke meja hijau, sembilan di antaranya adalah pegawai Kementerian Komunikasi.


Dalam surat dakwaan, tercatat bagaimana komplotan itu membagi hasil dari penjagaan situs web judi tersebut, yakni 20 persen untuk Adhi Kismanto (dibagi-bagi kepada anggota tim), 30 persen untuk Tony, dan 50 persen untuk Budi.


Budi telah membantah dugaan keterlibatannya dalam perkara ini. “Itu adalah narasi jahat yang menyerang harkat dan martabat saya pribadi. Itu sama sekali tidak benar,” ucapnya pada 19 Mei 2025.


Menurut dia, alokasi dana yang disebutkan dalam dakwaan jaksa hanyalah obrolan internal para tersangka. 


Ia mengklaim tidak tahu-menahu soal rencana pembagian uang, apalagi menerima aliran dana. 


"Jadi itu omon-omon mereka saja bahwa Pak Menteri nanti dikasih jatah 50 persen. Saya tidak tahu ada kesepakatan itu. Mereka juga tidak pernah memberi tahu. Apalagi (menerima) aliran dana. Faktanya tidak ada,” ujar Budi.


Budi mengatakan, saat masih menjadi Menteri Kominfo, dia justru aktif dalam pemberantasan situs web judi online. 


Ia siap membuktikan tidak terlibat dalam praktik pelindungan situs web terlarang tersebut.


Hingga akhir Juni 2025, penyidik Kepolisian Daerah Metro Jaya belum berencana memeriksa Budi. 


Sikap polisi ini mendapat kritik dari Bambang Rukminto, peneliti pada Institute for Security and Strategic Studies. 


“Selama penyidik masih memiliki kepentingan, Budi Arie tidak akan pernah diusut,” kata Bambang, Senin, 30 Juni 2025.


Menurut Bambang, keterangan terdakwa dalam BAP dan persidangan seharusnya menjadi perhatian. Dalam logika penyidikan, kata dia, kesaksian bisa menjadi bahan verifikasi awal untuk penelusuran lebih lanjut. 


Penelusuran itu bisa dilakukan dengan mencocokkan aliran dana, memanggil saksi tambahan, dan mengumpulkan bukti pendukung. 


“Semestinya cukup untuk dijadikan pintu masuk penyelidikan,” tuturnya.


Dosen hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, menilai dugaan keterlibatan Budi dalam pengamanan situs web judi online sejatinya sudah memenuhi syarat untuk ditindaklanjuti secara hukum. 


Ia merujuk pada dakwaan jaksa penuntut umum yang secara eksplisit menyebutkan adanya jatah 50 persen untuk Budi. 


Fickar menekankan bahwa proses pidana terhadap seorang menteri tetap dimungkinkan selama ada bukti permulaan yang cukup. 


Dalam konteks perkara ini, menurut dia, kesaksian para terdakwa yang menyebutkan peran Budi, termasuk soal pembagian persentase uang pengamanan, adalah fakta hukum yang tak bisa diabaikan. 


“Penegakan hukum terhadap pejabat publik tetap terbuka untuk dilakukan sebagai cerminan prinsip persamaan di depan hukum,” ujarnya.


Fickar menyadari bahwa realitas penegakan hukum di Indonesia kerap dihadapkan pada kendala politik. 


Ia menyoroti pentingnya political will aparat penegak hukum ataupun pemegang kekuasaan untuk membawa perkara seperti ini ke tahap penyidikan yang transparan dan akuntabel. 


“Secara yuridis, alat buktinya sudah cukup kuat. Tapi political will selalu menjadi faktor penentu pamungkas bagi sebuah tindakan negara,” katanya.


Pendapat senada disampaikan oleh dosen hukum pidana dari Universitas Muhammadiyah Jakarta, Chairul Huda. 


Menurut dia, bukti permulaan dalam kasus ini lebih dari cukup untuk membuka penyelidikan terhadap Budi.


Chairul menekankan, dalam hukum acara pidana, penyelidikan tidak menuntut standar pembuktian yang tinggi.


Terlebih, dalam kasus ini sudah ada dugaan berdasarkan bukti permulaan. 


“Sudah bisa dilakukan penyelidikan atau penyidikan atas dugaan keterlibatan Budi Arie,” katanya.


Mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, Laode Muhammad Syarif, menyatakan kesaksian para terdakwa memang dapat menjadi dasar hukum yang cukup untuk memulai penyelidikan. Kekuatan kesaksian ini akan meningkat setelah ada putusan pengadilan. 


“Kesaksian yang dikuatkan oleh putusan pengadilan bertambah nilainya,” ujarnya.


Ketua Harian Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Arief Wicaksono Sudiutomo mengatakan sejauh ini belum ada bukti yang menunjukkan Budi menerima uang secara langsung. 


Namun nama Budi muncul berkali-kali dalam dokumen resmi pengadilan. Karena itu, penyidik seharusnya menelusuri dugaan keterlibatan Budi. 


“Supaya tidak menjadi fitnah dan tak bergulir terus, lebih baik diklarifikasi,” tutur Arief.


Menurut Arief, penyidik dari Polda Metro Jaya ataupun jaksa penuntut umum bisa menindaklanjuti dengan melakukan pemeriksaan tambahan atau memanggil Budi sebagai saksi dalam persidangan. 


Arief menegaskan, Kompolnas dapat meminta klarifikasi kepada aparat jika ada laporan masyarakat atau indikasi pelanggaran prosedural. 


“Kalau ada dugaan penyalahgunaan wewenang, kami bisa meminta klarifikasi ke penyidik,” ucapnya.


Arief juga menekankan pentingnya sensitivitas politik dalam perkara ini, mengingat fokus Presiden Prabowo Subianto terhadap empat isu utama: perjudian, korupsi, penyelundupan, dan narkoba. 


Arief berharap kepolisian tidak main-main dalam menangani perkara yang menyentuh nama pejabat publik. 


“Sejauh ini Polda Metro dan Bareskrim sudah melaksanakan tugasnya dengan baik. Tapi, kalau ada temuan, itu bisa menjadi bahan klarifikasi.”


Sumber: Tempo

Komentar