GELORA.ME - Mantan Komandan Pusat Polisi Militer (Danpuspom) ABRI Mayjen (Purn) Syamsu Djalal buka suara tentang mantan Presiden RI ke-7, Joko Widodo atau Jokowi adalah bagian dari Partai Komunis Indonesia (PKI).
Tak hanya Jokowi yang disebut PKI, nama Luhut Panjaitan pun disinggung-singgung.
"Kita tahu siapa itu Jokowi? Jokowi itu sebetulnya PKI. Saya bisa buktikan. Si Hendropriyono tau tuh. Luhut itu kan, tokoh PKI juga kan," demikian komentar Syamsu Djalal dalam sebuah akun tiktok @kucing.mujair100 tertanggal 15 Mei 2025, Senin (2/6).
Syamsu Djalal menambahkan, karena Jokowi merupakan bagian dari mereka, segala daya dan upaya mereka tempuh untuk menyelamatkan Jokowi.
"Mereka betul-betul bagaimana bisa menyelamat Jokowi ini. Jokowi sebagai simbol mereka. Jadi bagaimana cara mereka, dengan jalan apapun diselamatkan," ungkap Syamsu Djalal.
Pria kelahiran tahun 1943 itu juga menyinggung Agum Gumelar, Wiranto. Dengan tegas, ia menyebut sebagai penjilat.
"Penjilat-penjilat sekarang, termasuk Wiranto, Agum Gumelar, Hendropriyono dan sekarang ini negara sudah dijual sama (ke) Cina," ungkap pria kelahiran Padang tersebut.
Ia juga menyebutkan, saat ini garda terdepan Indonesia adalah Polri, bukan TNI.
"Ada bilang garda terdepan itu tentara. Siapa bilang garda terdepan itu tentara. Garda terdepan kita itu sekarang polisi. Polisi itu kan partai coklat, parcok," ujar dia.
Terakhir ia berharap bisa memberikan yang terbaik bagi bangsa ini, yaitu mencegah kejahatan.
"Ya Allah kepada Engkau kami menyembah, dan kepada Engkau kami memohon pertolongan," pungkas Syamsu Djalal.
👇👇
@kucing.mujair100 #syamsudjalal tentang asal #jokowi #jokowidodo #jokowidodopresidenkita #mulyono #ijazahjokowi #ijazahpalsu ♬ original sound - Kucing Mujair
SIAPA SYAMSU DJALAL?
Lahir di Padang, Sumbar tgl. lahir 22 Desember 1943. Lulusan Akademi Militer (1965) ini berasal dari Korps Polisi Militer (CPM) dan pernah menempati beberapa jabatan strategis, diantaranya Komandan Pusat Polisi Militer (Dan Puspom) ABRI dan Jaksa Agung Muda Intelijen (Jamintel) di Kejaksaan Agung Republik Indonesia.
Juga salah satu pendiri/Ketua Dewan Penasehat – Partai Berkarya pimpinan Tomy Suharto yang dideklarasikan pada 13 Mei 2016.
Syamsu juga pernah ikut Pilgun Sumbar thn.2020 dari jalur independen bersama aktor Aldi Taher (JADI) , namun kalah.
Kembali ke partai Berkarya, sejak tahun 2020, Partai Berkarya dipimpin oleh Mayor Jenderal TNI (Purn.) H. Muchdi Purwopranjono sebagai Ketua Umum namun kemudian muncul konflik, Dualisme di tubuh Partai Berkarya bermula ketika Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) mengeluarkan Surat Keputusan terkait Pengesahan Perubahan Susunan Pengurus DPP Partai Berkarya 2020-2025.
Dalam surat itu Kemenkumham mengesahkan kepengurusan di bawah kepemimpinan Muchdi PR.
Tommy Soeharto lantas menggugat putusan itu ke PTUN Jakarta, gugatannya dikabulkan pada 16 Februari 2021.
Tak terima, Kemenkumham dan Partai Berkarya di bawah kepengurusan Muchdi PR mengajukan banding.
Tapi, dalam putusannya 1 September 2021, majelis hakim PT TUN Jakarta tetap menyatakan kepengurusan Partai Berkarya di bawah Tommy merupakan kepengurusan yang sah.
Kemenkumham dan Mucdi PR terus melanjutkan proses peradilan ke tingkat kasasi hingga akhirnya menang. ***
Jokowi dan PKI: 'Janji Manis Landreform Yang Berujung di Tangan Oligarki'
Pemilu 1955 mencatat fenomena politik yang menarik: Partai Komunis Indonesia (PKI) hampir unggul di banyak daerah pada putaran kedua.
Salah satu faktor utama yang membuat PKI begitu populer kala itu adalah kampanye landreform.
Isu ini begitu menggema karena rakyat, terutama para petani miskin, memahami landreform sebagai janji bahwa tanah akan diberikan kepada mereka.
Sebuah harapan konkret bagi mereka yang selama ini hidup dalam ketidakpastian agraria.
Pemikiran ini membawa saya pada satu kecurigaan: apakah Jokowi memiliki afinitas ideologis dengan PKI?
Kecurigaan ini bukan sekadar tuduhan kosong, tetapi berangkat dari pola yang mirip.
Sejak awal pemerintahannya, Jokowi gencar membagi-bagikan sertifikat tanah kepada rakyat.
Sekilas, kebijakan ini tampak sebagai bentuk keberpihakan kepada masyarakat kecil, mirip dengan janji PKI dulu.
Namun, setelah melihat bagaimana kebijakan ini berujung, justru ada pola yang serupa dengan yang terjadi di masa lalu—tetapi dengan akhir yang berbeda dan lebih mencengangkan.
Dari Janji Rakyat ke Kenyataan Oligarki
Jika PKI dahulu menggunakan isu landreform untuk menarik dukungan rakyat, Jokowi pun menerapkan kebijakan sertifikasi tanah dengan narasi yang kurang lebih sama: memberikan kepastian hak kepemilikan tanah bagi rakyat kecil.
Namun, seiring waktu, kebijakan ini memperlihatkan wajah aslinya.
Bukan hanya tanah rakyat yang disertifikasi, tetapi juga tanah negara, hutan, dan bahkan wilayah pesisir.
Lebih mengejutkan lagi, sertifikasi ini tidak hanya diberikan kepada rakyat kecil, tetapi juga kepada individu-individu tertentu serta korporasi besar.
Fakta ini memperlihatkan bagaimana kebijakan yang diklaim pro-rakyat ternyata menjadi alat legitimasi bagi para oligarki untuk semakin memperkuat cengkeraman mereka atas aset negara.
Jika landreform PKI bertujuan untuk mendistribusikan tanah dari tuan tanah ke rakyat, maka landreform ala Jokowi justru berujung pada privatisasi tanah negara kepada korporasi besar dan segelintir elite.
Kebijakan ini pada akhirnya melanggengkan ketimpangan sosial, bukan menguranginya.
Jokowi: Antara Simbol Populisme dan Realitas Kapitalisme Oligarkis
Jokowi kerap tampil sebagai pemimpin populis yang berpihak kepada wong cilik.
Kebiasaannya membagi-bagikan sertifikat tanah adalah salah satu cara untuk membangun citra tersebut. Namun, populisme semacam ini hanyalah ilusi.
Di balik seremonial sertifikasi tanah yang ia pamerkan, kebijakan agraria Jokowi justru lebih menguntungkan para pemodal besar.
Kita bisa melihat bagaimana penguasaan lahan di Indonesia semakin timpang di bawah pemerintahannya.
Tanah-tanah negara yang seharusnya menjadi aset publik kini banyak yang jatuh ke tangan swasta.
Hutan yang sebelumnya menjadi bagian dari ekosistem yang dilindungi kini disertifikasi untuk kepentingan bisnis.
Bahkan laut pun tak luput dari praktik ini, dengan munculnya sertifikat hak guna bagi pihak-pihak tertentu.
Jadi, apakah Jokowi benar-benar pro-rakyat? Ataukah ia hanya menggunakan strategi yang sama dengan PKI untuk menarik simpati rakyat, tetapi dengan agenda yang berbeda—yaitu memastikan bahwa tanah-tanah strategis tetap berada dalam kendali oligarki yang menjadi pendukung politiknya?
Kesimpulan: Jokowi, Warisan PKI, dan Realitas yang Lebih Buruk
Kebijakan sertifikasi tanah Jokowi, jika ditelusuri lebih dalam, menunjukkan kemiripan dengan propaganda PKI di masa lalu, tetapi dengan hasil yang jauh berbeda.
Jika PKI mengklaim ingin memberikan tanah kepada rakyat, Jokowi mengawali dengan memberikan kepastian hak tanah kepada rakyat, tetapi akhirnya lebih menguntungkan pihak korporasi dan oligarki.
Dengan demikian, Jokowi tidak hanya menerapkan strategi PKI dalam menarik simpati rakyat, tetapi juga menggunakannya sebagai alat untuk menciptakan oligarki tanah yang lebih mengakar.
Jika kebijakan ini terus berlanjut, bukan tidak mungkin rakyat akan menyadari bahwa yang mereka dapatkan hanyalah janji manis yang ujungnya tetap menguntungkan kaum elite.
Maka, pertanyaan akhirnya adalah: apakah Jokowi benar-benar berpihak kepada rakyat kecil, ataukah ia hanya boneka yang mengabdi kepada kepentingan oligarki?
Jika PKI dahulu dianggap sebagai ancaman karena ingin mengubah sistem kepemilikan tanah, maka Jokowi bisa jadi ancaman yang lebih besar—karena ia mengubah kepemilikan tanah bukan untuk rakyat, tetapi untuk para pemilik modal. ***
Artikel Terkait
HNW: Surat Pemakzulan Gibran Sudah di Meja Ketua MPR
Polemik Pemakzulan Wapres Gibran, Pegiat Medsos: Presiden Prabowo Tidak Menolak
Dasco Diutus Prabowo Temui Megawati di Tengah Isu Reshuffle, Sampaikan Pesan Rahasia
Debat Panas Soal Ijazah, Roy Suryo Ledek Relawan Jokowi Nyontek: Baca Undang-Undang Aja Gak Bisa!