IRONI! Narasi Deddy Corbuzier dan Stimatisasi Kritik: Cara Lama Bungkam Masyarakat Sipil

- Rabu, 19 Maret 2025 | 13:50 WIB
IRONI! Narasi Deddy Corbuzier dan Stimatisasi Kritik: Cara Lama Bungkam Masyarakat Sipil

GELORA.ME - Deddy Corbuzier dan sejumlah akun media sosial diduga tengah menggiring stigma terhadap aktivis yang membongkar rapat tertutup revisi UU TNI di DPR RI akhir pekan lalu.


Mereka melabeli aksi itu dengan kata-kata seperti "ilegal," "anarkis," dan "antek asing." 


Bukannya meredam keresahan, narasi ini justru menuai kecaman dan menegaskan kegagalan negara dalam merespons kritik publik. 


Lantas, narasi apa sebenarnya yang ingin diarahkan oleh Dedy Corbuzier?


Sabtu sore itu, di sebuah hotel bintang lima di Jakarta, suasana rapat tertutup Komisi I DPR RI dan Kementerian Pertahanan mendadak berubah. 


Dari balik pintu ruang pertemuan di Fairmont, langkah cepat terdengar.


Wakil Koordinator KontraS, Andrie Yunus, bersama dua rekannya dari Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan, menerobos masuk. 


"Selamat sore, Bapak Ibu," suara Andrie menggema.


"Kami dari Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan menuntut agar pembahasan RUU TNI dihentikan. Ini tidak sesuai dengan proses legislatif! Ini dilakukan secara tertutup!"


Puluhan pasang mata terkejut. Beberapa anggota Komisi I tampak berbisik. Pejabat dari Kementerian Pertahanan menatap tajam.


Namun, sebelum Andrie bisa melanjutkan orasinya, beberapa petugas keamanan bergerak cepat. Dorongan keras menghantam tubuhnya. Ia terhuyung, lalu jatuh ke lantai.


Sejenak suasana hening. Tapi Andrie tak menyerah. Dari balik pintu yang kini dijaga ketat dua petugas, suaranya kembali terdengar.


"Rapat ini harus dihentikan! RUU TNI ini berbahaya! Ini mengembalikan Dwi Fungsi TNI seperti di era Orde Baru!"


Suasana semakin tegang. Di luar ruangan, rekan-rekan Andrie berusaha merekam kejadian itu. Sementara di dalam, narasi tentang demokrasi dan transparansi diuji. 


Tak lama berselang, Deddy Corbuzier merespon. Laki-laki dengan nama lengkap Deodatus Andreas Deddy Cahyadi Sunjoyo belakangan ditunjuk sebagai Staf Khusus Menteri Pertahanan Bidang Komunikasi Sosial dan Publik. 


Deddy, yang awal kariernya sebagai pesulap, menyebut aksi itu sebagai anarkis dan ilegal.


"Bagi kami, gangguan yang terjadi sudah mengarah pada tindak kekerasan anarkis. Ini bukan kritik atau masukan yang membangun, tapi tindakan ilegal dan melanggar hukum," ujar Deddy lewat akun Instagram dc.kemhan pada Minggu (17/3/2025).


Pernyataan itu tak berdiri sendiri. Beberapa hari kemudian, tiga akun Instagram yang diduga berafiliasi dengan TNI turut merespons.


@kodim_1623_karangasem, @kodam.ix.udayana, dan @babinkum.tni mengunggah video yang menuding para aktivis sebagai antek asing.


"Indonesia dalam bahaya. Antek asing bergerak. Mereka hidup dari uang asing. Mereka membela kepentingan asing. Mereka tak ingin TNI kuat. Tak ingin negara ini berdaulat. Mereka takut jika TNI dan rakyat bersatu," demikian narasi dalam video tersebut.


Video itu juga menepis anggapan bahwa RUU TNI bertujuan mengembalikan dwi fungsi ABRI ala Orde Baru. 


Sebaliknya, aksi para aktivis disebut sebagai framing yang jahat dan sesat.


"TNI hadir sebagai mekanisme sinergitas nasional. Demi kepentingan nasional, dengan tetap menjunjung demokrasi dan supremasi sipil. Tapi mereka hanya punya satu tujuan: melemahkan TNI agar kepentingan asing tetap berjalan di negeri ini," bunyi penggalan narasi dalam video itu.


Stigmatisasi Kritik: Pola Lama untuk Bungkam Masyarakat Sipil


Pengamat komunikasi politik dari Universitas Esa Unggul, Jamiluddin Ritonga, menilai narasi-narasi tersebut sebagai upaya untuk menstigma pergerakan masyarakat sipil. Pendekatan komunikasi seperti itu, menurutnya, tidak tepat untuk negara demokrasi.


"Labeling seperti itu lebih lazim di negara otoriter. Dalam negara demokrasi, hal semacam ini seharusnya tidak terjadi," kata Jamiluddin, Selasa (18/3/2024).


Ia melihat narasi tersebut mencerminkan pola pikir militeristik. Menganggap pihak yang berbeda pendapat sebagai musuh. 


Padahal, dalam negara demokrasi, setiap warga negara berhak menyampaikan pendapat dan berekspresi.

Halaman:

Komentar