"Jangan pernah lupa bahwa Anwar Usman adalah adik ipar Presiden Republik Indonesia, sedangkan semua sengketa di Mahkamah Konstitusi selalu terkait dengan Presiden baik sebagai kepala negara ataupun kepala pemerintahan.
Oleh karenanya, Anwar Usman tidak boleh dilibatkan dalam mengadili semua sengketa di Mahkamah Konstitusi dan Anwar Usman sebaiknya segera mundur demi kemandirian lembaga peradilan Mahkamah Konstitusi," papar Edy. Dua Peristiwa Lahirkan Gugatan Lebih lanjut Edy menjelaskan, para penggugat menggugat Anwar Usman atas dasar adanya 2 (dua) peristiwa, yang didalamnya memuat perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Tergugat, yang dapat dicela oleh masyarakat, yaitu:
PERTAMA, Peristiwa Permohonan pengujian ketentuan Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, mengenai syarat batas usia Calon Presiden dan Wakil Presiden “berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun”, dalam perkara permohonan Pengujian Undang-undang Nomor : 90/PUU-XXI/2023, yang dimohonkan oleh Pemohon Almas Tsaqibbirru Re A, mahasiswa dari Surakarta.
Pemohon dalam Permohonannya, secara terang benderang menyebut dirinya sebagai pengagum dari Walikota Surakarta pada periode tahun 2020-2025 yaitu Gibran Rakabuming Raka, yang nota bene adalah keponakan Tergugat dan dalam Permohonannya, Pemohon secara lugas menjelaskan bahwa “Pemohon tidak bisa membayangkan terjadinya jika sosok yang dikagumi para generasi muda tersebut tidak bisa mendaftarkan pencalonan Presiden sedari awal, hal tersebut sangat inkonstituonal karena sosok Walikota Surakarta tersebut mempunyai potensi yang besar dan bisa dengan pesat memajukan kota Solo secara pertumbuhan ekonomi”.
"Artinya sejak awal Tergugat sudah mengetahui bahwa Gibran Rakabuming Raka, yang merupakan anggota keluarganya memiliki kepentingan langsung terhadap putusan perkara Nomor : 90/PUU-XXI/2023.
Sehingga perbuatan Tergugat untuk tetap terlibat mengadili perkara Nomor : 90/PUU-XXI/2023, dapatlah dipandang sebagai perbuatan dengan sengaja ‘melibatkan diri’ dalam perkara yang terdapat potensi benturan kepentingan (conflik of interest).
Perbuatan tersebut tidak hanya melanggar kode etik, tapi sudah masuk pada ranah perbuatan melawan hukum karena bertentangan dengan kewajiban hukum Tergugat yang wajib menjaga kemandirian lembaga peradilan” (in casu, Mahkamah Konstitusi) dan menghindari segala bentuk campur tangan pihak lain diluar kekuasaan kehakiman dalam urusan peradilan," papar edy. KEDUA, lanjut Edy, peristiwa pasca terbitnya Putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi Nomor: 2/MKMK/L/11/2023, tanggal 7 November 2023.
Pasca terbitnya putusan tersebut, tergugat semestinya sadar bahwa dirinya sudah ‘cacat’ secara konstitusional untuk menjadi Hakim Konstitusi.
Namun, alih-alih menyadari kesalahannya, Tergugat malah bersikap sebaliknya, malah secara terbuka dihadapan media menyatakan bahwa dirinya ‘didzalimi’ serta menuduh Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) telah melanggar kode etik.
"Perbuatan Tergugat yang demikian, berpotensi memperburuk ‘citra’ Mahkamah Konstitusi dan berpotensi menimbulkan hambatan bagi Mahkamah Konstitusi sebagai sebagai satu-satunya ‘benteng terakhir’, yang akan mengadili sengketa hasil pemilu pada Pemilihan Umum Tahun 2024. Oleh karenanya Para Penggugat mengajukan gugatan ini dengan tujuan agar Tergugat segera mundur dalam kedudukannya sebagai Hakim Konstitusi pada Mahkamah Konstitusi," papar Edy.
Lebih lanjut Edy menjelaskan, para penggugat mengajukan permohonan ganti rugi atas PMH yang dilakukan Anwar Usman. "Adapun ganti rugi yang dimohonkan oleh Para Penggugat terhadap Anwar Usman seluruhnya sebesar Rp. 1.300.254.474.940,- (satu triliun tiga ratus milyar dua ratus lima puluh empat juta empat ratus tujuh puluh empat ribu sembilan ratus empat puluh rupiah)," kata Edy
Sumber: tvOne
Artikel Terkait
Brigadir HA Di-Patsuskan Usai Dugaan Pelecehan Seksual ke Mahasiswa di Villa Anyer
3 Isu Hantu Prabowo Menurut Hendri Satrio: Ijazah Gibran, Kasus Silfester, hingga Utang Whoosh
11 Purnawirawan Jenderal Polri Temui Mahfud MD, Tolak Keras Polri Dibawah Kementerian!
Fakta Whoosh: Utang Rp2 Triliun Per Tahun & Kontroversi yang Masih Menghantui