Krisis Transparansi Hukum Kereta Cepat Whoosh: Dampak Fiskal & Solusi Reformasi

- Senin, 27 Oktober 2025 | 15:00 WIB
Krisis Transparansi Hukum Kereta Cepat Whoosh: Dampak Fiskal & Solusi Reformasi
  • Putusan MA No. 964 K/Pid.Sus/2018 menegaskan bahwa pembayaran proyek infrastruktur tanpa evaluasi transparan merupakan bentuk perbuatan melawan hukum
  • Putusan MA No. 123 K/Pid.Sus/2020 memperkuat bahwa penjaminan pemerintah tanpa audit BPK adalah penyalahgunaan wewenang yang dapat dijatuhi hukuman pidana

Preseden ini relevan untuk KCJB. Dugaan mark-up dan jaminan negara tanpa audit terbuka jelas memenuhi unsur melawan hukum sebagaimana Pasal 3 UU Tipikor.

Yurisdiksi dan Kewenangan: Tipikor atau Arbitrase Internasional

Yurisdiksi utama atas dugaan korupsi proyek KCJB berada pada Pengadilan Tipikor Jakarta Selatan, sesuai Pasal 52 UU Tipikor. Namun, kompleksitas hubungan dengan investor asing menimbulkan potensi sengketa lintas yurisdiksi.

Apabila sengketa finansial antara KCIC dan pihak China Railway International terjadi, arbitrase internasional ICSID dapat menjadi forum penyelesaian. Namun untuk aspek pidana dan tata kelola publik, yurisdiksi tetap pada lembaga domestik: KPK, BPK, dan BPKP.

Kekacauan regulasi menunjukkan lemahnya koordinasi kelembagaan hukum nasional. Dalam konteks ini, Tipikor menjadi benteng terakhir bagi supremasi transparansi hukum.

Ketidaktransparan sebagai Pelanggaran Struktural

Kegagalan transparansi dalam proyek KCJB merupakan pelanggaran struktural terhadap prinsip negara hukum. Good governance menuntut adanya tiga prinsip utama: transparency, accountability, dan responsibility. Ketiganya runtuh bersamaan ketika keputusan publik diambil tanpa kontrol publik.

Ketika pemerintah menolak membuka kontrak KCIC dengan alasan "rahasia bisnis", negara telah menanggalkan prinsip public control. Akibatnya, KCJB menjadi simbol defisit kepercayaan publik terhadap negara hukum.

Dalam kerangka konstitusional, pelanggaran terhadap transparansi ini berimplikasi langsung pada keuangan negara (Pasal 23 UUD 1945) dan hak atas informasi publik (Pasal 28F UUD 1945).

Reformasi Transparansi: Langkah Konkret Perbaikan

Kasus KCJB membuktikan bahwa ketertutupan adalah bentuk baru korupsi struktural. Untuk memulihkan integritas hukum dan kepercayaan publik, diperlukan langkah-langkah rigid:

  1. Audit Forensik BPK-KPK secara menyeluruh, termasuk penelusuran jaminan PII dan kontrak KCIC
  2. Perubahan/Pencabutan Perpres 93/2021 dan PMK 89/2023 untuk menghapus tumpang tindih regulasi
  3. Penerapan penuh UU KIP, termasuk keterbukaan kontrak dan laporan keuangan proyek
  4. Penegakan hukum di Pengadilan Tipikor tanpa kompromi politik

Transparansi bukan pilihan moral, melainkan syarat keberlangsungan negara hukum demokratis.

Cermin Buram Negara Hukum Indonesia

Kasus KCJB adalah a case study of constitutional hypocrisy. Di satu sisi, negara menegaskan komitmen terhadap pembangunan dan modernitas; di sisi lain, ia menegasikan prinsip dasar hukum itu sendiri.

Hukum tidak boleh terus diproduksi dan disiasati oleh politik proyek. Di Indonesia, korupsi kini berwujud dalam bentuk yang lebih halus: konstitusi kemunafikan.

Semestinya melalui konstruksi hukum di atas, Indonesia punya wajah baru: Hukum yang mampu mengadili ketidakjujuran meski dilakukan oleh penguasa.

Halaman:

Komentar