Kamu Tak Perlu Bangga: Dari Jokowi hingga Kaesang, Inikah Wajah Asli Indonesia?
Oleh: Ali Syarief
Akademisi
Di negeri ini, tampaknya pepatah lama “kerja keras tak akan mengkhianati hasil” harus segera direvisi.
Mungkin lebih tepat jika berbunyi: “asal punya uang, relasi, dan jaringan politik, kamu bisa jadi apa saja.”
Dan jika Anda masih merasa bangga karena Indonesia pernah dipimpin oleh seorang “rakyat biasa” bernama Jokowi—yang bahkan ijazah sarjana S1-nya dipertanyakan keasliannya—maka Anda telah terjebak dalam narasi semu tentang keadilan sosial dan meritokrasi.
SMA Bisa Jadi Wapres, Lulusan Seadanya Bisa Jadi Ketum Parpol
Lihatlah Gibran Rakabuming Raka, yang secara akademik hanya setara SMA.
Anak muda ini dalam waktu singkat naik kelas dari wali kota ke calon wakil presiden—dan kini, resmi menyandang jabatan nomor dua di republik ini.
Jangan lupa pula sang adik, Kaesang Pangarep, yang sekolahnya pun tak pernah menggema di dunia akademik, tahu-tahu muncul sebagai Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI).
Apakah karena gagasan dan kontribusinya pada bangsa? Ataukah karena darah dagingnya dari seorang penguasa?
Kita sedang menyaksikan mutasi kekuasaan, bukan berdasarkan kecakapan, tetapi berdasarkan kekerabatan. Ini bukan meritokrasi, ini monarki dalam jubah demokrasi.
Uang Bicara, Lalu Diamkan Nurani
Beralih ke Senayan, tempat para anggota DPR RI dan DPD duduk gagah.
Kursi-kursi itu tidak hanya bisa diduduki oleh yang punya visi, tapi yang terutama punya misi: menyetor uang dalam jumlah besar. “Logistik politik” adalah istilah sopannya.
Tapi kita semua tahu, yang dimaksud adalah transaksi. Transaksi untuk menyingkirkan idealisme dan menggantinya dengan pragmatisme busuk.
Ketika uang menjadi tiket utama untuk masuk ke parlemen, maka jangan heran jika yang diwakili bukan lagi rakyat, melainkan para pemodal.
Semua Bisa Dibeli, Termasuk Musuh dan Kawan
Dalam politik Indonesia, musuh hari ini bisa jadi kawan esok hari, dan sebaliknya. Dulu kita diajari tentang integritas, kini yang dijual justru fleksibilitas.
Para politisi kita tampaknya lebih jago menari di atas kubangan lumpur konflik kepentingan daripada menyuarakan kepedulian atas ketidakadilan.
Prabowo dan Jokowi adalah contoh gamblang. Yang satu mencaci habis-habisan, yang satu membalas tak kalah beringas.
Tapi pada akhirnya, mereka berpelukan demi “kepentingan bangsa”—yang sebetulnya hanyalah kedok untuk mempertahankan kekuasaan bersama. Dalam sistem ini, kejujuran adalah beban, dan konsistensi adalah kutukan.
Inikah “The Real Indonesia”?
Jika ini yang disebut sebagai wajah asli Indonesia—yang miskin nilai, penuh rekayasa, dan terjebak dalam kepalsuan politik—maka kita punya alasan untuk bukan hanya malu, tapi juga pilu.
Kita tidak sedang membangun bangsa, kita sedang mempertontonkan degradasi. Pendidikan dihina, perjuangan dinista, dan kejujuran dikhianati.
Indonesia hari ini bukan tentang siapa yang layak, tapi siapa yang kuat secara finansial dan genealogis.
Kamu tak perlu bangga karena Jokowi bisa jadi presiden. Justru kamu perlu cemas, karena sistem yang memungkinkan itu juga sedang menghancurkan akal sehat kita sebagai bangsa. ***
Sumber: FusilatNews
Artikel Terkait
Netanyahu Diungsikan, Kabur ke Yunani setelah Iran Gempur Balik Israel
EKSKLUSIF! Kisah Korban Selamat Tragedi Air India: Lepas Sabuk Pengaman-Merangkak Keluar
Media Israel Laporkan Banyak Korban Jiwa Akibat Serangan Balik Iran, Beritanya Ditutup oleh Otoritas Setempat
Israel Rilis Video IDF dan Mossad Luncurkan Rudal dari dalam Wilayah Iran