Masuk Akal Bila KPK Menyidik Jokowi dan Keluarganya

- Rabu, 11 Juni 2025 | 14:35 WIB
Masuk Akal Bila KPK Menyidik Jokowi dan Keluarganya


'Masuk Akal Bila KPK Menyidik Jokowi dan Keluarganya'


Oleh: Ali Syarief

Akademisi


Kini tak ada lagi alasan legal bagi KPK untuk terus diam. Jokowi telah lengser, dan aroma korupsi di sekeliling keluarganya semakin menyengat.


Setelah tidak lagi menjabat Presiden, Joko Widodo kembali menjadi warga negara biasa. Tapi jejak kekuasaan yang ditinggalkannya jauh dari kata biasa. 


Ia meninggalkan warisan yang bukan cuma infrastruktur, melainkan juga satu konstruksi politik yang mencemaskan: dinasti. 


Dan seperti sejarah negeri ini telah mengajari, dinasti selalu membuka jalan bagi korupsi.


Logika publik kini tak bisa diredam lagi. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus mulai membuka penyelidikan serius terhadap dugaan korupsi yang menyelimuti keluarga Jokowi. Apalagi, laporan sudah ada. 


Pada 2022, akademisi Ubedillah Badrun melaporkan Gibran Rakabuming dan Kaesang Pangarep ke KPK. 


Ia menuduh keduanya menerima suntikan dana dari grup bisnis yang mendapat fasilitas dan proyek negara—dugaan klasik soal konflik kepentingan yang merusak kepercayaan publik.


Dulu, ketika Jokowi masih menjabat, laporan itu bagai suara di padang pasir. 


Kini, keadaan telah berubah. Jokowi bukan presiden lagi. Maka tak ada lagi tameng hukum. Hanya keberanian KPK yang kini jadi soal.


Pernyataan Abdullah Hehamahua, mantan penasihat KPK, terasa makin relevan. 


Ia menyebut bila korupsi Jokowi terbukti, maka hukuman mati bukanlah sesuatu yang berlebihan. 


Pandangan itu memang ekstrem, namun muncul dari keprihatinan mendalam terhadap pembusukan hukum yang selama ini ditoleransi karena kekuasaan.


Peta kekuasaan keluarga Jokowi terus meluas. Gibran kini adalah Wakil Presiden RI. Bobby Nasution telah dilantik sebagai Gubernur Sumatera Utara. 


Dan Kaesang Pangarep, yang baru seumur jagung terjun ke politik, kini tengah dipersiapkan oleh ayahnya untuk maju sebagai calon Gubernur Jawa Tengah—basis tradisional PDIP yang kini terbelah akibat manuver politik Jokowi sendiri.


Proses naiknya Kaesang bukanlah peristiwa demokratis biasa. Ia diangkat sebagai Ketua Umum PSI secara kilat, tanpa pengalaman, dan langsung masuk dalam orbit elektoral. 


Ini bukan kerja politik meritokratis, tapi hasil dari orkestrasi kuasa yang telah lama dijalin sejak Jokowi menguasai negara. 


Publik bukan tidak paham—mereka hanya belum sepenuhnya sadar bahwa apa yang sedang dibangun bukan negara hukum, tapi negara keluarga.


Mengapa penyelidikan terhadap Jokowi dan keluarganya mendesak? Karena publik berhak tahu: apakah fasilitas negara telah disalahgunakan untuk memperkaya anak dan menantu? 


Apakah konsesi bisnis, izin usaha, dan proyek-proyek BUMN telah dimanipulasi demi jaringan keluarga? Apakah lembaga-lembaga hukum telah dikondisikan untuk tutup mata?


Kasus Bobby Nasution dalam dugaan keterlibatan sindikasi nikel perlu dibuka seterang mungkin. 


Jangan sampai sumber daya strategis bangsa hanya jadi mainan elite lokal yang merasa kebal karena bersaudara dengan mantan presiden. 


Begitu juga dengan Iriana, yang disebut-sebut memiliki jejak dalam alur bisnis keluarga yang memanfaatkan fasilitas negara.


KPK harus ingat: mereka bukan penjaga kehormatan mantan presiden, tetapi penjaga integritas republik. 


Bila keluarga Jokowi tak tersentuh hukum, maka kita sedang melahirkan sistem feodal baru, dengan wajah modern, jargon populis, dan jubah demokrasi.


Republik ini bukan milik keluarga Jokowi. Maka masuk akal, bahkan niscaya, jika KPK mulai bekerja.


Karena diamnya hukum hari ini adalah kehancuran keadilan esok hari. ***


Sumber: FusilatNews

Komentar