Gerbang Revolusi Intelektual

- Selasa, 10 Juni 2025 | 13:55 WIB
Gerbang Revolusi Intelektual

Kini kita sedang menyaksikan puncak perlawanan kaum intelektual terhadap Joko Widodo, lokomotif gerakan anti-intelektualisme. Gerakan perlawanan kaum intelektual kali ini bahkan paling signifikan karena dapat dukungan sangat luas dari masyarakat.

 

Benar, itulah gerakan “para pemburu ijazah palsu” yang diduga dimiliki Joko Widodo. Gerakan ini dimotori DR Eng Rismon Hasiholan Sianipar, ST, MT, M Eng, ahli forensik digital, DR KRMT Roy Suryo Notodiprojo, pakar telematika, Dr Tifauzia Tyassuma, M.Sc, ketiganya alumni UGM, dan HM Rizal Fadilah  SH.

 

Dengan keilmuannya itu mereka membuka tabir sejarah ijazah sang (bekas) presiden Joko Widodo. Penjelasannya yang ilmiah-akademis jadi susah ditepis. Masyarakat luas percaya pendapat mereka, bahwa ijazah Joko Widodo palsu!

 

Belum pernah terjadi sebelum ini ada produk penelitian ilmiah-akademis mendapat kepercayaan publik seluas temuan mereka soal ijazah Joko Widodo ini. Sampai-sampai siapa pun yang mengatakan sebaliknya langsung berhadapan dengan gelombang kesangsian dan kenistaan masyarakat yang diekspresikan di media sosial.

 

Sejumlah petinggi Universitas Gadjah Mada, Bareskrim Polri, dan juga staf khusus Kapolri Aryanto Sutadi yang pernah menyatakan sebaliknya,  mengalami gelombang kesangsian masyarakat itu.

 

Tentu saja ini pertanda baik bagi tumbuhnya kepercayaan terhadap ilmu pengetahuan dan kesadaran moral intelektual di masyarakat. Situasi ini harus terus dirawat agar ilmu pengetahuan menjadi primadona dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

 

Tapi langkah Rismon-Roy Suryo dkk ini harus dituntaskan oleh kaum cerdik pandai di Indonesia, khususnya civitas akademika UGM.

 

Dewan Guru Besar dan civitas akademika UGM lainnya harus berkumpul untuk menyikapi skandal ijazah Joko Widodo ini secara intelektual. Akan lebih baik jika mengajak Sultan HB X sebagai payung moral spiritual dan politik.

 

UGM sebagai perguruan tinggi yang sejak awal dianggap menjadi sumber masalah ijazah ini, harus berani menyatakan kebenaran. Terlalu mahal harga yang harus dibayarkan untuk melindungi hal yang tidak benar. Lagi pula tidak patut institusi lain (Bareskrim Polri) yang tidak memiliki hak intelektual, yang menyatakan sah tidaknya produk intelektual UGM.

 

Kembali ke Khitah Perguruan Tinggi

 

Akhirnya, penulis berharap skandal ini menjadi “berkah Allah” bagi UGM untuk menjadi lokomotif dalam menegakkan moral-intelektual dan integritas universitas, setelah selama 10 tahun rezim Joko Widodo perguruan tinggi menjadi pusat perdagangan gelar akademik.

 

Perguruan tinggi harus dikembalikan ke khitahnya sebagai Empires of Ideas, Kerajaan Gagasan, seperti kata William C Kirby.

 

Bukankah semua negara maju di dunia ditopang oleh perguruan tinggi yang baik dan benar, pengirim sumber daya manusia berkualitas?

 

Indonesia tidak akan menjadi emas dengan hanya didiamkan, bahkan hingga 2045. Untuk menjadikan “Indonesia Emas” perlu ilmu pengetahuan. Itu sebabnya kaum cerdik pandai saatnya bakit. Kobarkan revolusi intelektual.

 

Ingat, pendekatan yang menekankan pentingnya pemikiran rasional, analisis kritis, dan ilmu pengetahuan dalam memahami persoalan dan membuat keputusan adalah kunci menuju negara berkeadilan dan berkesejahteraan.



*(Penulis adalah Inisiator BRAIN (Badan Riset, Analisa dan Inovasi Nahdliyin)

Halaman:

Komentar