Pengangkatan Letjen TNI (Purn) Djaka Budi Utama sebagai Direktur Jenderal Bea dan Cukai (Dirjen Bea Cukai) mengundang banyak pertanyaan di kalangan publik, khususnya para pegiat tata kelola pemerintahan dan pengamat birokrasi. Djaka, yang dikenal sebagai mantan anak buah Prabowo Subianto di Kopassus dan anggota Tim Mawar menjelang Reformasi 1998, kini menempati posisi puncak di lembaga yang selama ini identik dengan urusan teknis kepabeanan, perdagangan internasional, dan fiskal.
Langkah ini patut dipertanyakan: apakah penunjukan Djaka murni karena kebutuhan memperkuat pemberantasan penyelundupan, atau justru bermuatan politis yang berpotensi merusak sistem meritokrasi birokrasi yang selama ini diperjuangkan?
Selama ini, Kementerian Keuangan, termasuk Direktorat Jenderal Bea Cukai, dikenal sebagai salah satu kementerian teknokratik yang diisi profesional murni. Seorang Dirjen di sini biasanya menempuh jalur karir panjang: dari eselon bawah, meniti tangga jabatan, melalui ujian kompetensi, diklat, hingga promosi berbasis prestasi.
Dengan masuknya Djaka dari jalur luar, apalagi dengan latar belakang militer, ini menjadi preseden baru. Tentu pemerintah akan berargumen bahwa latar belakang militer dibutuhkan untuk urusan pemberantasan penyelundupan yang sering kali melibatkan mafia kuat. Namun, jika memang itu alasannya, pertanyaan kritisnya adalah: bukankah Bea Cukai sendiri sudah memiliki unit pengawasan dan investigasi? Apakah selama ini lembaga tersebut gagal sehingga perlu mendatangkan figur militer dari luar?
Salah satu prinsip reformasi birokrasi adalah meritokrasi: pengisian jabatan berdasarkan kompetensi, kinerja, dan profesionalisme, bukan kedekatan politik, hubungan personal, apalagi sejarah bersama di masa lalu.
Dengan menunjuk Djaka yang jelas-jelas memiliki kedekatan dengan Presiden Prabowo, pemerintah membuka ruang spekulasi bahwa jabatan-jabatan strategis diisi oleh mereka yang “loyal secara politik,” bukan karena “kompetensi teknis.” Jika dibiarkan, ini akan menjadi sinyal buruk bagi para pegawai karir: untuk apa bekerja keras, mengikuti diklat, memenuhi target kinerja, jika pada akhirnya posisi puncak bisa diisi oleh orang luar karena faktor kedekatan?
Penunjukan purnawirawan TNI di pos sipil bukan hal baru. Kita pernah melihat purnawirawan menjadi kepala BNN, kepala Basarnas, bahkan komisaris di BUMN. Namun, khusus Kementerian Keuangan, ini cukup jarang terjadi. Masuknya figur militer di Bea Cukai bisa dilihat sebagai bagian dari tren militerisasi birokrasi sipil.
Padahal, karakter urusan kepabeanan lebih berkaitan dengan tata niaga, perpajakan, ekonomi internasional, dan regulasi perdagangan. Ini bukan soal operasi militer. Yang diperlukan adalah penguatan sistem, transparansi, digitalisasi, dan reformasi struktural, bukan pendekatan ala operasi militer.
Mengatasi Penyelundupan Tidak Cukup dengan Figur
Memang, penyelundupan menjadi salah satu masalah serius. Namun, akar masalahnya bukan semata lemahnya figur di pucuk pimpinan, tetapi persoalan sistemik: regulasi yang longgar, pengawasan yang tumpang tindih, kerja sama lintas sektor yang lemah, dan mentalitas birokrasi yang permisif terhadap pungutan liar.
Tanpa perbaikan koordinasi antarlembaga — misalnya antara Bea Cukai, Polri, TNI AL, Bakamla, hingga Kementerian Perdagangan — siapapun yang duduk di kursi Dirjen tidak akan mampu memberantas penyelundupan secara signifikan. Bahkan figur militer pun bisa lumpuh jika tidak didukung oleh reformasi kelembagaan yang menyeluruh.
Pengangkatan ini juga harus dibaca sebagai pesan politik. Prabowo, yang kini menjadi presiden, sedang membangun lingkar kekuasaannya. Dengan menempatkan loyalis di pos-pos strategis, ia memastikan kontrol penuh atas birokrasi. Ini bisa dibaca sebagai langkah konsolidasi kekuasaan, mengamankan lini-lini penting, termasuk yang berkaitan dengan arus barang, pajak, dan pemasukan negara.
Namun, bahayanya, jika pola ini terus diperluas, birokrasi akan kehilangan roh profesionalismenya. Pegawai akan mulai merasa bahwa kesetiaan politik lebih penting daripada capaian kinerja. Ini berpotensi menggerogoti semangat reformasi birokrasi yang sudah diperjuangkan sejak era pasca-Soeharto.
Tentu publik berharap Djaka Budi Utama bisa membuktikan kapasitasnya. Kita menunggu langkah-langkah konkret: apakah ia mampu menurunkan angka penyelundupan, memperbaiki integritas pegawai, mempercepat digitalisasi, dan membangun koordinasi lintas sektor.
Namun, di sisi lain, kekhawatiran tetap ada. Jika pengangkatan ini menjadi pola — mengisi jabatan sipil dengan loyalis militer atau politik — maka apa yang kita sebut meritokrasi birokrasi akan hancur perlahan. Dan kalau itu terjadi, reformasi birokrasi akan tinggal slogan kosong belaka.
Karena itu, publik, DPR, LSM, dan media harus terus mengawasi. Bukan semata soal siapa yang duduk, tetapi bagaimana kebijakan berjalan, bagaimana tata kelola diperbaiki, dan bagaimana birokrasi melayani rakyat dengan profesional. Jangan sampai lembaga seperti Bea Cukai menjadi alat politik semata, yang pada akhirnya justru menggerogoti kepercayaan publik terhadap negara.
Oleh: Muslim Arbi
Pengamat Politik
______________________________________
Disclaimer: Rubrik Kolom adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan GELORA.ME terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi GELORA.ME akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.
Artikel Terkait
SERU! Babak Baru Prabowo vs Jokowi: KODE Presiden Langsung Lahap Bubur Panas Bagian Tengah, Bukan Lagi Pinggiran
ANEH! Kasus Ijazah Jokowi Dihentikan, Pengamat Beberkan Kejanggalan Kwitansi SPP Jokowi di UGM
Terungkap! Prabowo Kerahkan TNI Kawal Kejaksaan Saat Bos Sritex Ditangkap, Ternyata Ada Peran Geng Solo Mase di Mega Korupsi Bansos?
Skandal Its Anggi Viral: Video Bocor di Terabox hingga Telegram Bikin Heboh Netizen