Gerakan Mahasiswa 98 dan Konflik Militer

- Selasa, 20 Mei 2025 | 22:00 WIB
Gerakan Mahasiswa 98 dan Konflik Militer


'Gerakan Mahasiswa 98 dan Konflik Militer'


Hampir semua peristiwa besar di Tanah Air tidak bisa dipisahkan dari konflik internal militer, termasuk Gerakan Reformasi 1998. 


Gerakan mahasiswa 1998 yang berkelindan dengan konflik internal militer berujung pada lengsernya Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998.


Ada analisis yang mengatakan, dorongan Soeharto untuk menyatakan dirinya berhenti sebagai presiden lebih disebabkan oleh konflik di kalangan pendukungnya sendiri, salah satunya adalah mundurnya secara mendadak sejumlah menteri yang dimotori Ginanjar Kartasasmita. 


Patut juga disebut nama Harmoko (saat itu Ketua DPR RI), pendukung setia Soeharto selama puluhan tahun, yang secara ajaib balik kanan ketika mengusulkan agar Soeharto mundur.


Sudah menjadi pengetahuan bersama, Gerakan Reformasi 1998 secara kebetulan beririsan dengan konflik internal militer antara Jenderal Wiranto (Akmil 1968, Panglima TNI saat itu) dan Letjen Prabowo Subianto (Akmil 1974, Pangkostrad), dua figur militer yang sejatinya sama-sama dekat dengan Soeharto. 


Sebenarnya masih ada satu poros lagi, yakni kubu Benny Moerdani, yang terkesan pasif sepanjang Mei 1998. Benny sendiri diketahui sebagai musuh lama Prabowo.


Konflik Tipis-tipis Prabowo dan LBP


Gerakan Reformasi 1998 mengingatkan kita pada Peristiwa Malari (1974), yang juga diwarnai konflik internal militer. 


Dalam perkembangannya, bacaan publik terhadap Gerakan Reformasi 1998 dan Peristiwa Malari terombang-ambing di antara dua wacana yang sama kuat: konflik internal militer atau gerakan mahasiswa itu sendiri.


Dalam Peristiwa Malari, konflik internal militer dimaksud adalah rivalitas antara Ali Murtopo dan Jenderal Soemitro (Pangkopkamtib/Wapangab). Wacana rivalitas ini hampir menutupi substansi gerakan mahasiswa. 


Baru bertahun-tahun kemudian, semuanya menjadi jelas bahwa motivasi utama peristiwa Malari sebenarnya adalah penentangan terhadap rezim militeristik Soeharto. Namun, penguasa maupun pelaku gerakan menyamarkan motivasi tersebut.


Gerakan mahasiswa berjalan paralel dengan rivalitas militer. Setelah Malari, Soemitro memilih pensiun dini, sementara Ali Murtopo dikurangi peran politiknya. 


Ali kemudian menjadi Menteri Penerangan (1978–1983), jabatan formalitas yang jauh dari passion-nya sebagai perwira intelijen. 


Ia wafat pada usia 60 tahun (Mei 1984), dan bisa dikatakan mengorbankan kesehatannya demi prinsip yang diyakininya.


Situasi berbeda terjadi menjelang Mei 1998. Para perwira yang terlibat masih relatif muda. Prabowo belum genap 50 tahun, demikian juga Wiranto serta tiga jenderal lain yang dianggap sebagai proxy Benny Moerdani (Hendro Priyono, Agum Gumelar, dan Luhut Panjaitan). Kini, para elite tersebut tampak solid mendukung Prabowo.


Konflik internal militer versi 1998 segera dilupakan karena para pelaku kini berada dalam satu barisan kekuasaan. Namun, pasca-Reformasi konflik masih berlanjut secara parsial. 


Hendro, Agum, dan Luhut terus mendiskreditkan Prabowo, seperti saat Pilpres 2009 ketika Prabowo menjadi Cawapres Megawati.


Menjelang Pilpres 2009, terbit biografi Letjen Purn Sintong Panjaitan yang memuat kritik dari Luhut B. Panjaitan terhadap Prabowo. 


Dalam konteks waktu itu, penerbitan biografi tersebut dapat dibaca sebagai upaya menghambat kemenangan Prabowo.


Tanda-tanda rekonsiliasi mulai terlihat pada periode kedua Jokowi (2019–2024), ketika dua yunior Prabowo di Kopassus, Lodewijk Paulus dan Andogo Wiradi, bergabung ke Partai Golkar. Keberadaan mereka menunjukkan bahwa konflik Prabowo dan Luhut bersifat parsial.


Bila ada konflik pun, itu belum sebanding dengan konflik ideologis Ali Murtopo dan Soemitro. Konflik Prabowo dan Luhut lebih tepat disebut “konflik internal kampungan,” istilah yang dilontarkan sendiri oleh LBP.


Marinir sebagai Katalis


Kosakata “kampungan” dirilis LBP sebagai respons terhadap pihak-pihak yang ingin memakzulkan Wapres Gibran, termasuk dari komunitas purnawirawan TNI. 


Petisi yang ditandatangani sejumlah purnawirawan, termasuk Jenderal Try Sutrisno, mendukung Prabowo tetapi meminta pemakzulan Gibran.


Gibran dianggap sebagai proxy Jokowi, sehingga purnawirawan ingin menepis bayang-bayang Jokowi dalam rezim Prabowo. 


Try Sutrisno adalah figur penting yang dihormati Prabowo, terbukti dari pengangkatan anak Try, Letjen Kunto Arief Wibowo, sebagai Pangkogabwilhan I.


Sebelum LBP, istilah “kampungan” juga pernah dilontarkan KSAD Jenderal Maruli Simanjuntak terhadap gerakan masyarakat sipil yang menolak revisi UU TNI. Jika riset kritis dianggap kampungan, apa lagi yang bisa diharapkan dari pemimpin semacam itu?


Kini, gerakan mahasiswa dapat bersinergi dengan komunitas purnawirawan TNI, seperti era 1998 ketika demonstran hanya bersedia dipandu oleh prajurit Marinir. 


Peran Letjen (Marinir) Soeharto, tokoh penting dalam petisi, kembali menguat. Ia dikenal sebagai pendukung setia Prabowo sejak awal.


Aliansi strategis mahasiswa dan purnawirawan bisa menjadi kekuatan moral dan politik. Tapi harus dipastikan bahwa ini tidak menjadi jalan bagi kembalinya dominasi militer dalam politik nasional. ***


Sumber: Inilah

Komentar