Refly Harun: Putusan MK Soal UU ITE Membangun Demokrasi

- Rabu, 30 April 2025 | 17:05 WIB
Refly Harun: Putusan MK Soal UU ITE Membangun Demokrasi


Putusan uji material UU 1/2024 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang dikabulkan sebagian oleh Mahkamah Konstitusi (MK) mendapat sambutan positif dari pakar hukum tata negara, Refly Harun.

Dia memandang, putusan MK atas Pasal 28 ayat (3) dan Pasal 45A ayat (3) UU ITE telah menegakkan sistem kenegaraan yang baik.

"Menurut saya, ini putusan rasional dan membangun demokrasi," ujar Refly melalui podcast yang tayang di kanal YouTube pribadinya, Rabu, 30 April 2025.

Refly menjelaskan, MK telah membatalkan penerapan dua pasal tersebut karena bersifat karet, sehingga berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum.

"Putusan MK (itu menyatakan) keributan di Ruang Digital tidak masuk delik pidana UU ITE," sambungnya.

Lebih lanjut, Refly mendapati pasal-pasal dalam UU ITE itu kerap menjerat pihak-pihak yang cenderung kritis kepada pemerintah.

Sebab menurutnya, dua pasal dalam UU ITE itu setidaknya merupakan produk legislasi yang dicomot parlemen dari UU 1/1946 tentang Peraturan Hukum Pidana dari Pasal 14 ayat 1 dan ayat 2 serta Pasal 15.

"Di dalam UU 1/1946 Pasal 14 ayat 1 dan ayat 2, dan Pasal 15 bicara mengenai menyebarkan berita bohong," paparnya.

Penjelasan dalam pasal UU 1/1946 itu, disebutkan Refly, intinya mengatur hukuman bagi orang yang menyebarkan berita bohong dan berakibat kericuhan.

"Pasal ini kemudian diadopsi, ini agak aneh juga anggota DPR tidak melindungi rakyat, diadopsi ke UU ITE pada Pasal 28 ayat 3 UU ITE yang bunyinya: 'setiap orang dengan sengaja menyebarkan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang diketahuinya memuat berita bohong, yang menimbulkan kerusuhan di masyarakat, diancam dengan hukuman 6 tahun atau denda 1 miliar'," tuturnya.

Refly lantas menyebutkan dampak dari penerapan aturan di UU ITE tersebut, di mana dia anggap telah mengkriminalisasi sejumlah pihak yang berani mengkritik pemerintah. 

"Pada era Pemerintahan Jokowi banyak sekali aktivis ditangkap, kemudian ditahan, kemudian dipaksa harus divonis. Yang paling terkenal ada Habib Rizieq Shihab, Habib Bahar bin Smith, Syahganda Nainggolan, Jumhur Hidayat, Anton Permana, Edi Mulyadi, bahkan Roy Suryo juga," ungkap Refly.

"Jadi mereka rata-rata kena undang-undang, kalau tidak UU ITE maka kena UU Nomor 1/1946 tentang Peraturan Hukum Pidana yang terkait dengan Pasal 14 ayat 1 dan ayat 2 dan Pasal 15," sambungnya menjelaskan. 

Oleh karena itu, dengan adanya putusan MK atas perkara Nomor 115/PUU-XXII/2024, aturan yang selama ini disoal masyarakat dapat diperbaiki. Karena, ada penjelasan bahwa frasa "menimbulkan kericuhan" sebagai akibat dari penyebaran berita bohong haruslah bersifat fisik, bukan dalam ruang digital.

"Rata-rata keributan kita ini kan di ruang digital semua. Maki memaki, kritik mengkritik, dan sebagainya tidak pernah secara fisik. Enggak pernah saya bertemu dengan Pro Jokowi maki-makian di depan umum. Enggak ada. Kalau ketemu kita ketawa-ketawa saja," sebutnya. 

"Jadi putusan MK ini mencerahkan, bahwa yang namanya kerusuhan haruslah secara fisik. Artinya, kalau orang mengadukan kita sudah menyebarkan berita bohong, maka harus dilanjutkan bahwa berita bohong itu harus menimbulkan secara fisik, bukan digital," pungkas Refly. 

Sumber: rmol
Foto: Pakar Hukum Tata Negara, Refly Harun/Repro

Komentar