Potret Pemilih Difabel Pada Pemilu 2024: Sudah Siapkah Penyelenggara Pemilu?

- Jumat, 19 Januari 2024 | 03:00 WIB
Potret Pemilih Difabel Pada Pemilu 2024: Sudah Siapkah Penyelenggara Pemilu?

Selain soal pemilih difabel, sederet temuan lain juga mencuat di hasil survei yang diselenggarakan secara kolektif oleh Sasana Inklusi dan Gerakan Advokasi Difabel (SIGAB) Indonesia, Pusat Rehabilitasi YAKKUM (PRYAKKUM) dan FORMASI Disabilitas dengan dukungan Program INKLUSI (Kemitraan Australia - Indonesia untuk Mewujudkan Masyarakat Inklusif). Di balik berbagai upaya yang telah dilakukan, temuan survei menggambarkan betapa masih banyak ruang perbaikan yang perlu diupayakan, baik untuk Pemilu yang akan segera berlangsung di 14 Februari 2024, maupun untuk penyelenggaraan Pemilu selanjutnya.

Syarif menjelaskan, survei ini dilakukan dengan metode snow balling dan mendapati sangat sedikit representasi responden dari panti atau pun balai/pusat rehabilitasi. Dari 479 responden survei ini, hanya 0,6% responden dari panti/balai rehabilitasi. Menurutnya hal ini merupakan fenomena yang meresahkan. Di tengah upaya untuk mendorong panti dan balai rehabilitasi menjadi lebih menjunjung hak asasi manusia, institusi-institusi tersebut masih menjadi ruang kecil yang belum memastikan akses informasi dan edukasi yang adil bagi difabel. Kurangnya keterjangkauan informasi tersebut dapat menimbulkan banyak kemungkinan, seperti tidak terpenuhinya hak pilih difabel yang tinggal di panti, hingga kemungkinan obyek kecurangan.

“Untuk temuan ini, di rekomendasi kami sampaikan, salah satunya KPU, di sisa waktu ini, perlu melakukan upaya terukur memastikan penjangkauan bagi panti/balai rehabilitasi. Dan Bawaslu melakukan pemantauan terhadap penyelenggaraan pemungutan suara di panti/balai rehabilitasi,” pungkas Syarif.

Temuan survei, 22,8% responden menyatakan bahwa mereka terlibat dalam aktivitas kampanye dengan partai politik/calon presiden, dimana motivasi terbesarnya adalah sosialisasi (41%) dan menyukai visi dan misi calon (32%). Sejalan dengan temuan ini, 45% responden ternyata telah terlibat memberikan masukan pada materi kampanye, dan di antara yang memberikan masukan tersebut, sebanyak 30% merasa masukannya diadopsi sebagai materi kampanye.

Ada beberapa hal yang dapat dibaca dari temuan tersebut. Pertama bahwa keterlibatan difabel telah membuktikan, dan berpotensi membuka kesadaran baru di tingkat politisi akan pengarusutamaan dan inklusi difabel. Kedua, angka temuan ini juga menunjukkan bahwa difabel sebenarnya sangat potensial untuk aktif dalam partai politik dan menjadi bagian dari pelaku politik praktis. Sayangnya, ini masih berbanding terbalik dengan fakta temuan lain bahwa hanya 9% responden yang dijangkau oleh partai politik dalam kegiatan sosialisasi maupun edukasi.

Temuan lainnya, menunjukkan tingginya tingkat kesadaran dan pemahaman difabel akan hak politik. 77% responden sangat memahami 6 hak difabel dalam pemungutan suara. Sementara itu, 95,5% menyatakan penting untuk membela dan memperjuangkan hak politik. Angka tersebut berbanding lurus dengan tingkat pendidikan, dimana semakin tinggi tingkat pendidikan, semakin tinggi pula pemahaman akan hak dan keberanian difabel membela dan memperjuangkan hak mereka.

Dalam hal tingkat pendidikan, survei ini tidaklah menggambarkan figur sesungguhnya mengenai tingkat pendidikan difabel, dimana survei yang dilaksanakan berbasis internet hampir dipastikan menyasar mereka yang mempunyai tingkat pendidikan yang relatif baik. Menurut Syarif,, kesadaran dan literasi politik difabel secara umum dapat dikatakan masih rendah.

Ditambah lagi dengan temuan informasi terkait Pemilu yang ternyata masih sulit dipahami, dimana 25,3% menyampaikan sulitnya memahami bahasa yang rumit dalam berbagai informasi ke-Pemilu-an. Difabel intelektual (2,3%), difabel sensorik tuli (15,7%) dan difabel sensorik netra (11,7%) adalah di antara yang paling mengalami kesulitan dan tertinggal dalam mengakses informasi ke-Pemilu-an.

Artikel ini telah lebih dulu tayang di: sijogja.com

Halaman:

Komentar