"Biasanya itu adalah mayat-mayat tidak punya sanak sahabat dan sanak saudara, tapi terus dipantau oleh lembaga tertentu oleh negara dan sebagainya," tutur dia.
"Kemudian, fakultas kedokteran yang sudah jelas dan ada tujuannya bukan sekedar main-main. Biasanya seperti itu, dan boleh," sambungnya.
Bahkan menurut Buya Yahya, sangat boleh adalah mayat orang yang kafir harbi, yakni mereka yang memerangi Islam.
Tapi, kalau kafir jimmy (non muslim yang hidup berdampingan secara rukun) tidak boleh.
"Kalau kafir harbi yang kurang ajar sama umat Islam boleh, karena dia perangi umat Islam," ujarnya.
Kemudian, jika mayat itu tidak tahu rimbanya. Sejumlah ulama sepakat, itu dibolehkan.
"Karena tidak ada yang tersakiti. Kemudian tujuannya adalah mulia (untuk ilmu pengetahuan)."
"Tapi kalau bapak kita, anak kita untuk anatomi, ya itu kurang ajar. Atau seorang bapak kasihkan anaknya untuk itu (kadaver), nah itu kurang ajar tidak punya kasih sayang," sambungnya.
Dengan demikian, lanjut Buya, biasanya mayat yang digunakan untuk keperluan ilmu kedokteran itu biasanya mereka tidak bertuan.
"Kalau tujuannya untuk medis boleh. Tapi siapa dulu mayat yang tidak bertuan? Itu adalah mayat yang tidak punya sanak kerabat, saudara ataupun mayat orang kafir harbi. Kafir harbi yang memerangi kita, jadi boleh," jelasnya.
"Cuma biasanya binatang dulu, mungkin ada kemiripan kemiripan dan sebagainya. Jadi boleh dibahas para ulama demikian. Wallahualam," timpalnya lagi.
Sumber: viva
Artikel Terkait
Anggaran K/L Dikembalikan Rp 4,5 Triliun, Menkeu Purbaya Ungkap Penyebab Penyerapan Lambat
Insiden Penyerangan WNA China ke Anggota TNI di Tambang Emas Ketapang: Kronologi & Fakta Terbaru
Kritik Rencana Sawit Papua Prabowo: Swasembada Energi vs Ancaman Deforestasi
Perampokan Rumah Mewah Cilegon: Kronologi Pembunuhan Anak Politisi Maman Suherman