Sampai pada titik ini, apakah benar bahwa bisnis Gibran dan Kaesang murni karena kerja keras, bukan karena pengaruh Jokowi sebagai presiden? Ini tentu menjadi pertanyaan kita semua dan sangat penting untuk dijawab, agar semuanya benar-benar transparan. Oleh karena itu, untuk dapat melihat bagaimana relasi bisnis keluarga Jokowi lebih detail, bisa klik disini.
Rasanya kurang relevan apabila hanya dua putra kandung Jokowi saja yang dilihat perkembangannya dalam membangun bisnis selama Jokowi menjabat presiden. Kita ketahui, bahwa Walikota Medan yakni Bobby Nasution juga memiliki relasi keluarga dengan Jokowi. Di mana Bobby menikahi anak kedua Jokowi yakni Kahiyang Ayu. Dalam reportase Tirto.idjuga diterangkan bagaimana perkembangan bisnis dari menantu Jokowi tersebut.
Dijelaskan bahwa sebelum menjadi menantu Jokowi, Bobby memang sudah memiliki bisnis yakni sebuah café yang berdiri sejak 2013. Kemudian, pada 2017 dirinya resmi menjadi menantu Jokowi, dari situ semakin terlihat bagaimana tentakel bisnis Bobby berkembang. Kurang lebih satu tahun pascamenikahi anak Jokowi, Bobby memiliki saham sebesar Rp9,3 miliar di PT Wirasena Cipta Reswara sekaligus menjabat sebagai Komisaris. Perusahaan ini juga memiliki saham di PT Pilar Wirasena Sinergi sebesar Rp1,53 miliar yang bergerak di bidang pertanian.
Masih berdasarkan sumber yang sama, sekitar 2017, Bobby bergabung dengan Takke Group sebagai direktur pemasaran dan terlibat dalam pembangunan apartemen Malioboro City di Yogyakarta. Takke Group memang sangat minim publikasi terkait aktivitasnya, namun terdapat beberapa proyek pada tahun 2019 yang bernilai sekitar Rp2 triliun.
Misalnya apartemen Kemang View, Metro Galaxy di Bekasi, dan sejumlah perumahan tapak, salah satu diantaranya seperti Cimanggis Permai. Apabila ditotal semua, Takke Group telah membangun sebanyak 8.000 unit perumahan tapak.
Perusahaan Walikota Medan tersebut yakni PT Wirasena Cipta Reswara juga terlibat dalam proyek pembangunan perumahan bersubsidi di Sukabumi. Banyak kalangan menilai, keterlibatan perusahaan Bobby dalam proyek ini juga tak lepas dari pengaruh mertuanya yang menjabat sebagai presiden sehingga dengan mudah dapat memenangkan tender projek tersebut. Akan tetapi, berdasarkan laporan Tirto.id, dalam perjalanannya proyek perumahan yang bernama Nawacita Sukabumi Sejahtera Satu itu sempat juga digugat oleh PT Glostar Indonesia.
Di mana PT Glostar Indonesia terkena dampak dari aktivtas cut and fill PT Wirasena Cipta Reswara yang menurut perusahaan tersebut, aktivitas yang dimaksud tidak ditunjang oleh sarana dan prasarana yang memadai. Namun akhirnya gugatan tersebut ditolak, dan PT Glostar Indonesia lebih memilih untuk menyelesaikan masalah internalnya demi mengurangi kerugian.
Dari beberapa contoh di atas, tentu menarik apabila kita juga melihat bagaimana relasi bisnis Bobby selaku menantu presiden berkembang, mengingat PT Wirasena Cipta Reswara juga memiliki relasi bisnis dengan PT Sambas Minerals Mining, perusahaan tambang nikel di Konawe Selatan sebagai pemegang saham terbesar kedua yakni sebesar Rp5,7 miliar.
Berubahnya sikap PT Glostar Indonesia apakah murni semata-mata karena mereka ingin fokus membenahi masalah internalnya, bukan karena berhadapan dengan kekuatan yang sangat besar?
Pertanyaan ini juga menjadi sebuah misteri, tentu hanya PT Glostar Indonesia dan Tuhan yang tahu. Selain itu, sebagaimana kita sadari, terutama di periode Jokowi yang kedua begitu serius dalam melakukan hilirisasi nikel. Tidak berlebihan apabila publik bertanya apakah ada kaitan antara menantunya yang memiliki saham terbesar kedua pada perusahaan yang bergerak di permunian nikel dengan program hilirisasi tersebut? Tentu lagi-lagi pertanyaan ini menjadi misteri yang bukan tidak mungkin akan terjawab di kemudian hari. Untuk melihat relasi bisnis dari menantu Jokowi bisa klik disini.
Kontroversi bagaimana keluarga Jokowi dalam membangun gurita bisnis hanya salah satu dari sekian kontroversi yang ada. Pascaputusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang mengabulkan sebagaian soal syarat Calon Presiden dan Wakil Presiden berusia minimal 40 Tahun atau pernah/sedang menjabat jabatan yang dipilih melalui pemilu termasuk pilkada misalnya, publik juga pernah lelah untuk terus menyoroti hal tersebut karena cukup kontroversial. Apalagi, putusan itu juga diwarnai dengan dissenting opinion dari empat hakim MK yang kurang lebih menyatakan banyak keanehan dalam memutus hal tersebut.
Sorotan publik terhadap fenomena ini tentu sangat beralasan, karena apa yang dilakukan oleh Jokowi di akhir-akhir masa jabatannya, sangat kental dengan aroma arogansi dan haus kekuasaan. Dari mulai “mendesain” anak bungsunya yakni Kaesang Pangarep yang secara instan diangkat sebagai Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI), memainkan pengaruh dalam memobilisasi Ormas relawannya untuk serang sana serang sini, sampai dengan bermain gimmick seakan akan netral, tapi ujungnya menggelar karpet merah untuk sang anak yakni Gibran Rakabuming Raka menjadi bakal calon wakil presiden.
Publik tentu sangat mudah mencium aroma-aroma ambisius Jokowi untuk memperbesar kekuasaannya. Sebagai contoh dari kasus putusan MK saja, permohonan terkait perubahan syarat usia Capres dan Cawapres pertama kali diajukan oleh PSI, di mana adik Gibran yang dalam hal ini anak bungsu Jokowi adalah ketua umum partai tersebut. Selanjutnya, hakim MK berikut juga menjabat sebagai ketua MK bernama Anwar Usman adalah ipar dari Jokowi, atau sebagai paman dari Gibran dan Kaesang.
Kecurigaan publik dalam mengendus niatan yang penuh ambisi dan arogansi Jokowi, diafirmasi melalui pendapat hakim MK yakni Arif Hidayat yang menyatakan bahwa pada mulanya ketua MK tidak mengikuti rapat untuk memutus dengan alasan ada konflik kepentingan karena dirinya berkait langsung dan tidak langsung dengan permohonan tersebut. Akan tetapi, dalam putusan selanjutnya ketua MK ikut memutus, dan ketika ditanyakan kembali alasan tidak ikut sebelumnya, ketua MK menjawab dirinya sedang sakit perut.
Kejadian ini sudah lebih dari cukup memberikan gambaran kepada khalayak, bagaimana mahkamah yang suci dan menjadi harapan satu-satunya sebagai penegak konstitusi saja dikangkangi oleh argumentasi yang sangat sepele, yakni sakit perut. Apa yang dilakukan Jokowi, termasuk yang dilakukan oleh ketua MK memberi kesan bahwa sindiran Mahkamah Konstitusi sebagai mahkamah keluarga adalah mungkin benar adanya. Semua berjalan seakan mengikuti irama “dansa” Jokowi, mengikuti seluruh ambisi Jokowi yang sama sekali tidak menempatkan kepentingan rakyat sedikitpun.
Benar apa yang disampaikan oleh Yuki Fukuoka dan Luky Djani, pada artikel yang diterbitkan dalam South East Asia Research berjudul ‘Revisiting the Rise of Jokowi: The Triumph of Reformasi or An Oligarchic Adaptation of Post-clientelist Initiatives?’ pada 2016, bahwa sejak awal Jokowi sudah bukan lagi sosok yang ia citrakan kepada publik selama kampanye yakni mengutamakan kepentingan rakyat. Dari banyak fenomena yang ia lakukan belakangan ini, hanya semakin mempertegas apa yang disampaikan oleh Yuki dan Lucky dalam artikelnya.
Tidak hanya itu, menurut Bend Bland seorang peneliti dari Lowy Institute misalnya, dengan merangkul Prabowo, maka upaya itu adalah pengkhianatan bagi demokrasi. Sekarang apa yang disampaikan oleh Bland tersebut menjadi begitu terang, Jokowi memang seorang yang telah berkhianat terhadap demokrasi, dengan telah menempatkan konstitusi berada di bawah dirinya sendiri. Lantas, apa yang bisa kita ucapkan dalam keadaan seperti ini? Jokowi, yang dulu dianggap sebagai “juru selamat”, kini publik bisa melihat bahkan mungkin menilai, bahwa era dinasti Jokowi ada di depan mata.
Tentunya setelah kita lihat apa yang telah ditulis dalam reportase Tirto.id yang secara ringkas diuraikan pada bagian awal, dengan apa yang beberapa hari ke belakang kita lihat dan alami terkait situasi politik nasional, semuanya seakan sangat kuat beririsan dengan kepentingan Jokowi memperluas kerajaan ekonomi, membangun dinasti bersama-sama dengan seluruh kroni.
Kalimat penutup dari reportase Tirto.id ditulis dengan tulisan “Dalam waktu enam tahun: anak dan menantu jadi walikota, satu anak jadi pengusaha. Dinasti politik baru di Istana”, maka melanjutkan kalimat penutup tersebut, tulisan ini ditutup dengan “Dalam waktu Sembilan tahun: Orang Istana semakin ingin menjadi Raja”.
(Penulis merupakan Ketua Bidang Kaderisasi DPP GMNI)
Artikel Terkait
Waspada Hujan Petir di Jakarta Pagi Ini: BMKG Imbau Jakbar, Jaksel, Jaktim
Gempa M 6,3 Guncang Afghanistan Dini Hari, Warga Panik Berlarian di Kegelapan
Pandji Pragiwaksono Dikritik PMTI Soal Materi Stand Up Comedy yang Hina Adat Toraja
Penikaman di Kereta Inggris: 10 Korban Tewas, 2 Kritis dalam Serangan Berdarah