Polemik Manfaat Hilirisasi Nikel: Manipulatif untuk Pencitraan?

- Kamis, 24 Agustus 2023 | 14:01 WIB
Polemik Manfaat Hilirisasi Nikel: Manipulatif untuk Pencitraan?



OLEH: ANTHONY BUDIAWAN*

HILIRISASI nikel, atau smelter nikel, menjadi polemik. Bantah-membantah, antara masyarakat, akademisi, dan pemerintah. Awalnya Faisal Basri kritik keras pemerintah, bahwa 90 persen manfaat atau keuntungan hilirisasi smelter nikel dinikmati China.


Pemerintah tidak terima. Jokowi bantah pernyataan Faisal Basri, menegaskan bahwa hilirisasi smelter nikel menguntungkan negara. Menurut Jokowi, ekspor bijih nikel (mentah) sebelum ada smelter hanya Rp1,7 triliun saja.






Setelah ada smelter, ekspor produk hasil hilirisasi nikel mencapai Rp510 triliun. Karena itu, penerimaan negara juga naik, kata Jokowi. Sehingga menguntungkan negara. Begitu logika Jokowi. Hmmm…


Selain Jokowi, bantahan juga datang dari Septian Hario Seto, Deputi Bidang Investasi dan Pertambangan Kemenko Marinves. Seto membenarkan perhitungan Jokowi, bahwa ekspor hasil hilirisasi nikel mencapai Rp510 triliun, setara 34,3 miliar dolar AS. Ekspor ini terdiri dari ekspor produk yang tergabung dalam HS 72 (besi dan baja) sebesar 27,8 miliar, HS 75 sebesar 5,9 miliar dolar AS, dan HS 73.


HS (Harmonized System) adalah sistem klasifikasi komoditas barang yang digunakan secara seragam di seluruh dunia, berdasarkan International Convention on The Harmonized Commodity Description and Coding System.


Masalahnya, yang dikritik Faisal Basri bukan nilai ekspor seperti dijelaskan pemerintah. Juga bukan nilai penerimaan negara dari pajak maupun non-pajak. Yang dikritik Faisal Basri, dan masyarakat, adalah siapa yang menikmati keuntungan hilirisasi nikel tersebut. Apakah sebagian besar dinikmati oleh pihak asing, dalam hal ini China, seperti klaim Faisal Basri?


Klaim Faisal Basri sangat masuk akal. Alasannya, karena hampir semua perusahaan smelter nikel dimiliki oleh perusahaan China, maka hampir semua keuntungan hilirisasi nikel tersebut dinikmati oleh perusahaan China. Logis.


Faisal Basri menulis: “Mengingat hampir semua perusahaan smelter pengolah bijih nikel 100 persen dimiliki oleh China dan Indonesia menganut rezim devisa bebas, maka adalah hak perusahaan China untuk membawa semua hasil ekspornya ke luar negeri atau ke negerinya sendiri.”


Ini point yang dikritik oleh Faisal Basri. Sebaiknya pemerintah fokus saja menjawab permasalahan yang dikritik itu. Yaitu, berapa persen smelter di Indonesia dimiliki oleh perusahaan China, yang akhirnya akan menikmati keuntungan hilirisasi smelter tersebut.


Selain itu, Faisal Basri juga mengkritisi insentif. Bukan penerimaan pajaknya. Menurutnya, insentif untuk smelter nikel menguntungkan investor (China), dan karena itu merugikan negara.


Halaman:

Komentar