Melakukan Pembohongan Kepada DPR, Sri Mulyani Wajib Diberhentikan

- Rabu, 07 Juni 2023 | 10:20 WIB
Melakukan Pembohongan Kepada DPR, Sri Mulyani Wajib Diberhentikan


Perlu dicatat, pertumbuhan konsumsi pemerintah Rp 168,2 triliun tersebut sudah termasuk penambahan utang pemerintah sebesar Rp 3.272,2 triliun, untuk periode 2018-2022.


Dengan kenaikan konsumsi pemerintah sebesar Rp 168,2 triliun, dan kenaikan ekonomi sebesar Rp 4.751 triliun, tidak berarti, setiap kenaikan Rp 1 konsumsi pemerintah, membuat ekonomi naik Rp 27,2 T (= Rp 4.751 T/Rp 168,2 T). Pernyataan seperti itu sangat menyesatkan. Karena, banyak faktor lainnya yang menjadi sumber pertumbuhan ekonomi: konsumsi rumah tangga, investasi dan net ekspor.


Lebih menyesatkan lagi, kalau mengatakan, penambahan utang (atau defisit anggaran) Rp 3.272,2 triliun tersebut (yang sebenarnya sudah termasuk bagian dari penambahan konsumsi pemerintah sebesar Rp 168,2 triliun) membuat ekonomi naik Rp 4.751 triliun. Seolah-olah ada hubungan langsung, dan satu-satunya faktor, antara tambahan utang dengan kenaikan ekonomi. Atau setiap Rp 1 tambahan utang membuat ekonomi tumbuh Rp 1,45, seperti diilustrasikan di tabel 5, dengan mengikuti logika dari pernyataan Sri Mulyani di rapat bersama Banggar DPR.


Oleh karena itu, Banggar DPR harus memanggil Sri Mulyani untuk menjelaskan bagaimana cara kerja ekonomi, atau model ekonomi, yang dimaksud olehnya, bahwa setiap Rp X tambahan utang dapat membuat ekonomi naik Rp Y, dan sekaligus memberi notasi dan persamaan model matematikanya.


Kalau tidak ada penjelasan lebih lanjut, maka pernyataan Sri Mulyani bermakna membohongi publik dan Banggar DPR. Sebagai konsekuensi, Sri Mulyani harus diberhentikan dari semua jabatan publik.


Terakhir, untuk tahun 2022, konstribusi konsumsi pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi negatif 2,6 persen, atau negatif Rp 68,8 triliun dari total pertumbuhan ekonomi Rp 2.611,7 triliun. (Lihat tabel 3).


Padahal, di dalam kenaikan konsumsi pemerintah yang negatif 2,6 persen tersebut, atau negatif Rp 68,8 triliun, sudah termasuk tambahan total utang pemerintah sebesar Rp 825 triliun pada tahun 2022, dari Rp 6.909 triliun (2021) menjadi Rp 7.734,0 triliun.



Bagaimana Sri Mulyani mengartikan data tersebut?


Semoga Sri Mulyani dapat menjelaskan dan mempertanggungjawabkan pernyataannya di Banggar DPR. 


*(Penulis adalah Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies)

Halaman:

Komentar