Di MK, Titi Anggraini dan Zainal Mochtar Jelaskan Tolak Sistem Pemilu Tertutup

- Selasa, 16 Mei 2023 | 00:30 WIB
Di MK, Titi Anggraini dan Zainal Mochtar Jelaskan Tolak Sistem Pemilu Tertutup

Mahkamah Konstitusi menggelar sidang lanjutan gugatan UU Pemilu terkait sistem pemilu proporsional terbuka dengan nomor perkara 114/PUU-XX/2022 di Gedung MK, Jakarta, pada Senin (15/5).

Agenda sidang hari ini adalah mendengarkan keterangan ahli pihak terkait Derek Loupatty. Ada tiga ahli dihadirkan yakni Khairul Fahmi, Titi Anggraeni, dan Zaenal Arifin Mochtar.

Dalam paparannya, Titi Anggraeni menyinggung soal perubahan sistem Pemilu setelah 1999. Titi menyebut, pembentuk undang-undang memutuskan mengubah sistem pemilu proporsional daftar tertutup (closed list) untuk memilih anggota DPR dan DPRD sehingga pemilih bisa langsung mencoblos caleg pilihannya di surat suara.

"Surat suara bukan hanya akan memuat nomor urut dan tanda gambar partai, tapi juga memuat nomor urut dan nama caleg yang diusung partai," kata Titi.

"Namun, pada Pemilu 2004 melalui UU Nomor 12 Tahun 2003, hal itu masih dilakukan melalui penerapan sistem proporsional terbuka yang relatif tertutup (relatively closed open list system). Di mana caleg akan menduduki kursi yang diperoleh partai apabila mendapat suara sejumlah kuota harga satu kursi yang disebut bilangan pembagi pemilih (BPP)," tambah dia.

Titi yang hadir secara luring menyebut, pilihan proporsional terbuka secara gradual tersebut dibatalkan MK melalui Putusan Nomor 22-24/PUU-VI/2008. MK menyebut, setiap caleg mestinya dapat menjadi anggota legislatif pada semua tingkatan sesuai dengan perjuangan dan perolehan dukungan suara masing-masing.

“Sehingga persyaratan 30% BPP yang harus dipenuhi caleg untuk mendapat kursi dan kalau tidak maka akan kembali berdasar nomor urut, dipandang MK sebagai sesuatu yang menusuk rasa keadilan dan melanggar kedaulatan rakyat dalam artinya yang substantif,” kata Titi.

Titi berharap, di masa depan sangat mungkin ada evaluasi atau pun modifikasi atas pilihan sistem pemilu. Jika MK mengunci pada satu pilihan sistem saja, hal itu akan berdampak pada kesulitan untuk melakukan penyesuaian dan perbaikan pada pemilu-pemilu yang akan datang.

Oleh karena itu, menurut Titi, bila menilik beberapa Putusan MK termutakhir, maka sudah sewajarnya MK menempatkan pengaturan soal sistem pemilu ini sebagai ranah pembentuk undang-undang untuk mengaturnya.

Akan tetapi, MK perlu memberikan rambu-rambu pada pembentuk undang-undang terkait asas dan prinsip dalam memilih sistem pemilu, sebagaimana yang dilakukan MK dalam Putusan No. 55/PUU-XVII/2019 menyangkut pilihan model keserentakan pemilu.

"MK juga penting menegaskan dalam putusannya terkait konsistensi pilihan sistem pemilu terhadap berbagai variabel teknis yang menyertainya sehingga tidak menimbulkan ambiguitas dalam implementasinya. Misalnya saja, tidak relevannya penggunaan nomor urut dan opsi mencoblos partai pada sistem proporsional terbuka dengan popular vote (suara terbanyak murni)," jelas Titi.

Sementara Khairul Fahmi dalam persidangan menjelaskan beberapa hal mengenai sejarah singkat terbentuknya sistem proporsional terbuka. Pertama, awal mula dipilihnya sistem ini merupakan pilihan kebijakan hukum pembentuk undang-undang.

“Jatuhnya pilihan pada sistem proporsional terbuka tidak dapat dilepaskan dari pengalaman pahit penerapan sistem proporsional tertutup selama pemilu-pemilu Orde Baru," kata Fahmi.

Halaman:

Komentar