GELORA.ME - Pernyataan Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Ulil Abshar Abdalla memantik diskusi panas publik.
Pernyataan tersebut dia sampaikan dalam salah satu tayangan TV swasta, bertajuk "Cabut Tambang Nikel, Sementara atau Selamanya?".
Menurutnya, kerusakan ekosistem yang terjadi akibat pertambangan merupakan hal yang wajar dan tidak perlu menjadi persoalan.
Lebih jauh, Ulil menuding, para aktivis yang menolak pertambangan sebagai wahabi, karena menolak perubahan ekosistem yang ada.
"Ini yang saya sebut dengan wahabisme itu.. wahabisme itu gini, orang wahabi itu, begitu inginnya menjaga kemurnian teks. Sehingga teks tidak boleh disentuh sama sekali. Harus puritan. Puritanisme teks itu adalah wahabi," katanya, dikutip Minggu (15/6/2025).
Tidak hanya itu, Ulil bahkan menyebut para aktivis yang menolak pertambangan itu sebagai ekstremis yang berbahaya.
"Apakah sama sekali kita tidak boleh menambang? Ini anugerah Allah, pohon anugerah Allah, tambang anugerah Allah," sambungnya.
Menurut Nadirsyah Hosen, Ulil gagal dan terlalu menyederhanakan masalah pertambangan yang begitu kompleks.
"Penambangan bukan sekadar perkara teknis antara 'baik' dan 'buruk', melainkan melibatkan soal ketimpangan struktural, kerusakan ekologis, dan pelanggaran hak masyarakat lokal. Selama hal-hal ini tidak diperbaiki, yang kita saksikan adalah bad mining.. selama hal-hal ini masih dibiarkan, maka tidak elok menormalisasi pertambangan dengan klaim normatif-abstrak," katanya di X @na_dirs.
Lebih lanjut, dia mengutip ayat suci Alquran surah al-Aʿrāf: 56 tentang keadilan ekologis dalam syariat, yang berbunyi berikut ini:
"Dan janganlah kalian membuat kerusakan di muka bumi setelah (Allah) memperbaikinya."
"Kerusakan ekologis akibat tambang berskala besar, baik yang berizin maupun liar, tak sekadar meninggalkan luka di permukaan tanah. Ia mencemari mata air, merusak ekosistem, dan mengusir masyarakat dari tanah warisan leluhur mereka.. kehancuran semacam ini disebut fasād al-bī’ah, kerusakan lingkungan yang sistemik," ungkapnya.
Menurutnya, Ulil telah gagal memisahkan antara good mining dan bad mining dalam persoalan pertambangan tersebut.
"Mayoritas praktik tambang di Indonesia kerap sarat dengan pelanggaran etis, hukum, dan sosial. Bahkan perusahaan-perusahaan yang menyandang 'izin resmi' banyak yang melanggar AMDAL, meminggirkan masyarakat adat, dan membungkam protes rakyat. Kiai Ulil tidak bisa menutup mata atas praktek semacam ini," katanya.
Yang mengenaskannya lagi, kemaslahatan dalam pertambangan hanya untuk segelintir elite politik, pejabat dan pemilik saham.
"Sementara rakyat kehilangan air bersih, tanah warisan, dan udara sehat. Itu bukan maslahat, tapi penjajahan domestik," jelasnya.
Dalam maqāṣid, tambahnya, maslahat harus berkelanjutan, adil, dan mencakup seluruh lapisan masyarakat atau kemanusiaan.
Sumber: harianmassa
Artikel Terkait
Pesan Menohok SBY: Jangan Ganggu Aceh, Kembalikan 4 Pulau Tersebut ke Tuannya!
Tito Punya Agenda Tersembunyi Goyang Prabowo dari Dalam?
Eks Ketua BEM UI Sebut Jokowi Bisa Pakai Cara Brutal Pertahankan Kekuasaan Gibran: Politik Sandera
Pencaplokan 4 Pulau Aceh Dicurigai untuk Kepentingan Politik Dinasti Jokowi Melalui Mendagri Tito