Menteri KP Sakti Wahyu dan Menkes Budi Layak Ditendang Usai Sebut Jokowi Bos: Tak Anggap Presiden Prabowo!

- Senin, 14 April 2025 | 09:55 WIB
Menteri KP Sakti Wahyu dan Menkes Budi Layak Ditendang Usai Sebut Jokowi Bos: Tak Anggap Presiden Prabowo!




GELORA.ME - Menteri Kelautan dan Perikanan (KP), Sakti Wahyu Trenggono dan Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin layak 'ditendang' dari Kabinet Merah Putih, Presiden Prabowo Subianto.


Pasalnya, saat bersilaturahmi ke kediaman Presiden RI ke-7 Joko Widodo alias Jokowi, di Solo, Jawa Tengah, Jumat (11/4/2025) menyebut Jokowi sebagai bos setelah kedua tokoh selesai bersilaturahmi. 


"Silaturahmi sama bekas bos saya. Sekarang masih bos saya,” kata Trenggono.


Sementara itu, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menekankan bahwa pertemuan ini merupakan bentuk silaturahmi. 


"Silaturahmi karena Pak Jokowi kan bosnya saya. Jadi, saya sama Ibu mau silaturahmi mohon maaf lahir dan batin. Juga (minta) doain supaya Pak Presiden dan Ibu itu sehat karena sudah masih jadi menteri kesehatan kan," kata Budi setelah pertemuan.


Adapun desakan pencopotan itu datang dari pengamat komunikasi politik Jamiluddin Ritonga. 


"Layak ditendang dari Kabinet Prabowo Subianto," kata Jamiluddin Minggu (13/4/2025).


Menurut Jamiluddin, pengamat dari Universitas Esa Unggul itu pernyataan menteri yang menilai Jokowi sebagai bos sama aja tak menganggap posisi Prabowo di kursi Presiden RI. 


"Para menteri tersebut tak pantas lagi bersama Prabowo karena bosnya Joko Widodo. Ini artinya, para menteri itu tidak mengangap Prabowo sebagai bosnya," tegasnya.


Dia menambahkan bahwa para menteri yang bilang Jokowi sebagai bos secara formal ialah bawahan Prabowo di kabinet. 


Oleh karena itu, para menteri seharusnya bisa menghormati status Prabowo yang menjadi pemimpin. 


"Ini artinya, Prabowo seharusnya menjadi bos para menteri tersebut," tandas Jamiluddin.


Tak Elok


Sementara pengamat politik Adi Prayitno menilai pernyataan dua menteri itu dengan sebutan bos bisa dianggap tidak elok. 


Sebab, kepala negara yang saat ini adalah Presiden RI Prabowo Subianto, bukan Jokowi. 


"Ya, di mata publik dinilai offside dan bahkan juga bisa dinilai kurang elok karena saat ini ya presidennya itu adalah Pak Prabowo Subianto, bukan yang lain," kata Adi saat dihubungi, Jumat (11/4/2025). 


Adi menilai Trenggono dan Budi memang bisa menyebut Jokowi sebagai bosnya sebagai bentuk terima kasih. 


Apalagi, dua orang ini pertama kali menjadi menteri di era Jokowi dan dilanjutkan di saat Prabowo memimpin Indonesia. 


Menurutnya, sebutan bos itu adalah ungkapan syukur dan terima kasih meskipun Jokowi tak lagi jadi presiden. 


"Sebenarnya sah saja kedua menteri itu bilang Pak Jokowi adalah bosnya ya sebagai ekspresi bentuk terima kasih, karena keduanya memang di era Pak Jokowi mendapatkan posisi yang cukup strategis, itu tidak ada bantahan," bebernya.


Akan tetapi, pemerintahan saat ini sudah berganti dengan era Presiden Prabowo. 


Sementara menteri adalah pembantu dari presiden. Dosen dari UIN ini pun khawatir pernyataan Trenggono dan Budi menimbulkan polemik adanya matahari kembar. 


"Karena sampai hari ini kan publik masih tak berhenti berspekulasi soal adanya matahari kembar, itu dikhawatirkan dengan adanya pernyataan bos selain Pak Prabowo justru makin mempertebal bahwa sebenarnya ya menteri-menteri di kabinet saat ini punya bos lain selain Pak Prabowo," kata Adi. 


Oleh karenanya, ia mengimbau para menteri di Kabinet Presiden Prabowo untuk berhati-hati dalam memberikan pernyataan ke publik. 


"Mestinya hati-hati, pejabat publik itu statement-statementnya kerap dinilai oleh publik," tandas Adi.


Sumber: MonitorIndonesia

Komentar

Artikel Terkait

Rekomendasi

JOKO Widodo alias Jokowi sudah lengser. Tak lagi punya kekuasaan. Presiden bukan, ketua partai juga bukan. Di PDIP, Jokowi pun dipecat. Jokowi dipecat bersama anak dan menantunya, yaitu Gibran Rakabuming Raka dan Bobbby Nasution. Satu paket. Anak bungsu Jokowi punya partai, tapi partainya kecil. Yaitu Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Partai gurem ini tidak punya anggota di DPR RI. Di Pemilu 2024, partai yang dipimpin Kaesang ini memperoleh suara kurang dari empat persen. Pada posisi seperti ini, apakah Jokowi lemah? Jangan buru-buru menilai bahwa Jokowi lemah. Lalu anda yakin bisa penjarakan Jokowi? Sabar! Semua ada penjelasan ilmiahnya. Semua ada hitung-hitungan politiknya. Manusia satu ini unik. Lain dari yang lain. Langkah politiknya selalu misterius. Tak mudah ditebak. Publik selalu terkecoh dengan manuvernya. Anda tak pernah menyangka Gibran jadi walikota, lalu jadi wakil presiden sebelum tugasnya sebagai walikota selesai. Anda tak pernah menyangka Kaesang jadi ketum PSI. Prosesnya begitu cepat. Tak ada yang prediksi Airlangga Hartarto mundur mendadak dari ketum Golkar. Anda juga tak pernah menyangka suara PDIP dan Ganjar Pranowo dibuat seragam yaitu 16 persen di Pemilu 2024. Persis sesuai yang diinginkan Jokowi. Anda nggak pernah sangka UU KPK direvisi. UU Minerba diubah. Desentralisasi izin tambang diganti jadi sentralisasi lagi. Omnibus Law lahir. IKN dibangun. PIK 2 jadi PSN. Bahkan rektor universitas dipilih oleh menteri. Ini out of the box. Nggak pernah ada di pikiran rakyat. Tapi, semua dengan begitu mudah dibuat. Mungkin anda nggak pernah berpikir mobil Esemka itu bodong. Anda juga nggak pernah menyangka ketua FPI dikejar dan akan dieksekusi oleh aparat di jalanan. Juga nggak pernah terlintas di pikiran ada Panglima TNI dicopot di tengah jalan. Ini semua adalah langkah out of the box. Tak pernah terlintas di kepala anda. Di kepala siapa pun. Ketika anda berpikir Jokowi melemah pasca lengser, ternyata orang-orang Jokowi masuk kabinet. Jumlahnya masih cukup banyak dan signifikan. Ketua KPK, Jaksa Agung dan Kapolri sekarang adalah orang-orang yang dipilih di era Jokowi. Ketika anda tulis Adili Jokowi di berbagai tempat, Kaesang, anak Jokowi justru pakai kaos putih bertuliskan Adili Jokowi. Pernahkah Anda menyangka ini akan terjadi? Teriakan Adili Jokowi kalah kuat gaungnya dengan teriakan Hidup Jokowi. Ini tanda apa? Jelas: Jokowi masih kuat dan masih punya kesaktian. Semoga pemimpin zalim seperti Jokowi Allah hancurkan. inilah doa sejumlah ustaz yang seringkali kita dengar. Apakah Jokowi hancur? Tidak! Setidaknya hingga saat ini. Esok? Nggak ada yang tahu. Dan kita bukan juru ramal yang pandai menebak masa depan nasib orang. Kalau cuma 1.000 sampai 2.000 massa yang turun ke jalan untuk adili Jokowi, nggak ngaruh. Ngaruh secara moral, tapi gak ngaruh secara politik. Beda kalau satu-dua juta mahasiswa duduki KPK, itu baru berimbang. Emang, selain 1998, pernah ada satu-dua juta mahasiswa turun ke jalan? Belum pernah! Massa mahasiswa, buruh dan aktivis saat ini belum menemukan isu bersama. Isu Adili Jokowi tidak terlalu kuat untuk mampu menghadirkan satu-dua juta massa. Kecuali ada isu lain yang menjadi triggernya. Contoh? Gibran ngebet jadi presiden dan bermanuver untuk menggantikan Prabowo di tengah jalan, misalnya. Ini bisa memantik kemarahan massa untuk terkonsentrasi kembali pada satu isu. Contoh lain: ditemukan bukti yang secara meyakinkan mengungkap kejahatan dan korupsi Jokowi, misalnya. Ini bisa jadi trigger isu. Ini baru out of the box vs out of the box. Tagar Adili Jokowi bisa leading. Kalau cuma omon-omon, ya cukup dihadapi oleh Kaesang yang pakai kaos Adili Jokowi. Demo Adili Jokowi lawannya cukup Kaesang saja. Jokowi terlalu tinggi untuk ikut turun dan menghadapinya. Sampai detik ini, Jokowi masih terlalu perkasa untuk dihadapi oleh 1.000-2.000 massa yang menuntutnya diadili. rmol.id *Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa

Terkini