Korban Penganiayaan di Ponpes Milik Gus Miftah Dilaporkan Balik karena Dituding Curi Uang Rp700 Ribu

- Minggu, 01 Juni 2025 | 23:45 WIB
Korban Penganiayaan di Ponpes Milik Gus Miftah Dilaporkan Balik karena Dituding Curi Uang Rp700 Ribu


GELORA.ME -
Kasus dugaan penganiayaan di Pondok Pesantren Ora Aji Sleman milik Miftah Maulana atau Gus Miftah berujung panjang

Salah satu korban atas nama KDR berbalik dilaporkan ke polisi atas tuduhan pencurian senilai Rp700.000.

Kuasa hukum korban, Heru Lestarianto menyatakan pelapor adalah salah satu dari 13 santri yang telah ditetapkan sebagai tersangka penganiayaan.

 KDR dituduh mencuri barang dari 13 tersangka kasus penganiayaan.

Heru menegaskan pihaknya akan menghadapi proses hukum yang berjalan.

Namun, Heru menyatakan kerugian Rp700.000 tidak seharusnya dibawa ke jalur hukum karena belum memenuhi unsur pidana berdasarkan KUHP.

"Itu kan Rp 700.000 belum memenuhi unsur untuk dilaporkan," kata Heru dikutip Kompas.com, Minggu (1/6/2025).

Heru pun menyebut tuduhan pencurian tersebut juga belum terbukti. 

Menurutnya, KDR dalam posisi tertekan saat mengaku mencuri.

"Rp700.000 itu kumulatif. Itu pun belum terbukti kan, masih dari pengakuan karena dianiaya tadi. Akhirnya karena dianiaya tadi terus (uang Rp700.000) diganti oleh keluarganya, kan ada adik sama kakak (korban KDR) di sini," katanya.

Heru mengaku menyayangkan insiden penganiayaan yang terjadi di Pondok Pesantren Ora Aji. Menurutnya, persoalan yang terjadi di dalam pondok pesantren tersebut tidak perlu berujung aksi main hakim sendiri.

"Ya sangat disayangkan sekali gitu lho, bisa diselesaikan secara kekeluargaan. Bisa juga akan banyak cara sebenarnya, panggil orangtuanya, minta pendampingan polisi, kan enggak main hakim sendiri," kata Heru.

Sebelumnya, Kapolresta Sleman Kombes Edy Setyanto Erning Wibowo sendiri membenarkan bahwa salah satu korban penganiayaan dilaporkan ke polisi.

Edy menyebut pihaknya tengah menindaklanjuti laporan tersebut.

"Jadi, dari 13 itu, ada 4 orang yang barangnya pernah diambil oleh korban itu dilaporkan kepada kami, pencurian," kata Edy, Jumat (30/5).

Kronologi kejadian


Kuasa Hukum Yayasan Pondok Pesantren (Ponpes) Ora Aji, Adi Susanto, dalam konferensi pers, Sabtu (31/5/2025) membeberkan kronologi masalah.

Adi Susanto menyampaikan, kejadian penganiayaan bermula dari aksi vandalisme dan pencurian di kamar-kamar santri di Ponpes Ora Aji, Sleman, Yogyakarta. Rentetan peristiwa pencurian tersebut tidak pernah diketahui siapa pelakunya.

Hingga akhirnya pada 15 Februari 2025, terkuak bahwa seorang santri berinisial KDR yang melakukan hal tersebut. Pengakuan KDR diawali saat ketahuan menjual air galon yang merupakan usaha pondok pesantren Ora Aji.

Santri lainnya kemudian bertanya siapa yang menyuruh KDR menjual air galon, sebab menjual air galon bukan tugas dan tanggung jawabnya.

"(KDR) mengakui bahwa memang dia sudah melakukan penjualan galon tanpa sepengetahuan pengurus itu selama kurang lebih 6 hari, ya sudah sekitar seminggu sudah melakukan itu. Nah, atas kejadian itu santri kan langsung tersebar nih peristiwanya tersebar," ucap Adi Susanto.

 Setelah itu, ditanyakan pula terkait dengan rentetan peristiwa pencurian yang terjadi di kamar santri. "Nah, sampai akhirnya ditanyakanlah ya secara persuasif, tidak ada pemaksaan. Apakah peristiwa yang selama ini terjadi di pondok juga dilakukan oleh dia?" tuturnya.

"Nah, yang bersangkutan mengakui bahwa dialah yang melakukan pencurian selama ini. Ada di santri yang bernama si A sekian Rp 700.000, santri yang bernama si B, Rp 50.000 dan segala macam," imbuhnya.

Mendengar pengakuan itu, kemudian muncul reaksi spontanitas dari sejumlah santri. Namun, Adi Susanto menyebut aksi spontanitas tersebut bukan tindakan penganiayaan.

"Bahwa yang perlu kita tekankan, atas nama yayasan menyanggah soal adanya penganiayaan itu. Apa yang terjadi di pondok adalah aksi spontanitas saja dari santri, yang tidak ada koordinasi apapun," ungkapnya.

Usai peristiwa tersebut, KDR diketahui dijemput oleh kakaknya. Kemudian KDR meninggalkan pondok tanpa berpamitan.

"Nah, entah siapa yang memulainya, tiba-tiba (KDR) keluar dari pondok tanpa pamit dan segala macamnya lah ya ke yayasan dan tiba-tiba muncul lah yang namanya laporan Kepolisian di Polsek Kalasan pada saat itu," ujar Adi.

Dikatakan Adi, yayasan kemudian berusaha menjadi mediator untuk memfasilitasi terjadinya perdamaian dalam persoalan tersebut. Namun, di dalam mediasi tersebut tidak ada titik temu.

"Nah, yang membuat mediasi itu menjadi gagal pada akhirnya itu dikarenakan permintaan kompensasi atau tuntutan kompensasi dari keluarga saudara (KDR) ini yang tidak mungkin bisa dipenuhi oleh santri, yang notabene ini (santri) orang-orang yang tidak punya, yang notabene datang ke sini dalam keadaan gratis," ucapnya.

Dari yayasan, lanjut Adi Susanto, kemudian menengahi dengan menawarkan membantu biaya pengobatan untuk KDR.

"Kami dari yayasan menawarkan angkanya Rp 20 juta. Tapi sekali lagi itu tidak pernah bisa diterima sampai akhirnya upaya mediasi berulang kali itu menjadi gagal," tuturnya.

Adi menyampaikan saat ini dirinya juga menjadi kuasa hukum 13 orang santri terkait laporan dugaan penganiayaan.

"Maka selain sebagai kuasa hukum yayasan, saya, kami juga menjadi kuasa hukum daripada seluruh santri yang dilaporkan tadi itu," katanya.

Tidak ada pengurus ponpes yang diasuh oleh Gus Miftah ini terlibat dalam peristiwa tersebut.

"Sekali lagi di antara santri. Tidak ada pengurus. Maka yang perlu diketahui adalah peristiwa ini pure, murni antara santri dan santri," ujar Adi.

Tindakan sejumlah santri tersebut dikatakan Adi Susanto dilakukan secara spontanitas.

"Aksi spontanitas itu muncul, spontanitas loh ya. Muncul dalam rangka untuk menunjukkan satu effort. Sebenarnya lebih kepada rasa sayang saja. Ini santri kok nyolong (kok mencuri) toh, kira-kira begitu," ucapnya.

Adi Susanto menyebut 13 orang santri yang dilaporkan ke polisi atas dugaan penganiayaan terhadap KDR merupakan korban pencurian dari yang bersangkutan.

Selain itu, Adi Susanto yang juga Kuasa Hukum dari 13 santri Ponpes Ora Aji ini menepis soal informasi terkait adanya penyiksaan dalam peristiwa tersebut.

Menurut Adi Susanto, di dalam peristiwa tersebut tidak ada sama sekali penyiksaan terhadap KDR.

"Framing yang terjadi selama ini di luar kan seolah-olah memang dilakukan penyiksaan yang luar biasa. Itu tidak pernah terjadi," ungkapnya.

 Miftah Maulana Habiburrahman, pengasuh pondok pesantren tersebut, menyampaikan permintaan maaf melalui kuasa hukumnya, Adi Susanto.

"Ya pertama tadi sudah disampaikan sama ketua yayasan, musibah ini adalah pukulan bagi kami terutama atas nama pondok pesantren. Ini adalah pukulan sehingga atas nama ketua yayasan, beliau (Miftah) sudah menyampaikan permohonan maafnya tadi," ujar Adi Susanto pada Sabtu (31/05/2025).

Peristiwa dugaan penganiayaan terjadi saat Miftah Maulana Habiburrahman sedang melaksanakan ibadah umrah dan tidak berada di lokasi.

Adi Susanto menjelaskan bahwa Pondok Pesantren Ora Aji berfungsi sebagai mediator dalam menyelesaikan masalah ini. Yayasan Pondok Pesantren Ora Aji menegaskan bahwa insiden yang berujung pada tuduhan penganiayaan merupakan masalah antara santri.

"Kalau ditanya kemudian apa yang dilakukan, sekali lagi kapasitas pondok hanya menjadi mediator saja untuk memfasilitasi terjadinya komunikasi. Hanya sebatas itu saja, tidak ada yang lain," tuturnya.

"Sekali lagi di antara santri. Tidak ada pengurus. Maka yang perlu diketahui adalah peristiwa ini pure murni antara santri dan santri," katanya.

Dianiaya di Pondok


Di sisi lain, Ketua Tim Kuasa Hukum korban, Heru Lestarianto, menyatakan, penganiayaan KDR terjadi pada 15 Februari 2025.

Korban disebut mengalami kekerasan dua kali dalam waktu berbeda, salah satunya saat dimasukkan ke dalam sebuah ruangan di lingkungan pondok.

"13 orang ini menghajar informasinya diikat (korban)," ucap Heru.

Ia menyebut korban sempat disetrum dan dipaksa mengakui pencurian agar penganiayaan dihentikan.

Pihak keluarga korban telah mengganti kerugian Rp 700.000 kepada pondok.

Heru menegaskan bahwa tindakan kekerasan tidak dapat dibenarkan dengan alasan apapun.

"Tidak diperkenankan adanya kekerasan dan main hakim," katanya.

Ia menjelaskan, para terlapor terdiri dari 4 orang di bawah umur dan 9 orang dewasa.

Mereka dijerat Pasal 170 jo 351 jo 55 KUHP terkait tindak pidana pengeroyokan.

"Seharusnya ditahan kok ini nggak, informasinya mereka mengajukan penangguhan penahanan," kata Heru.

Gus Miftah selaku pimpinan Pondok Pesantren Ora Aji belum memberikan tanggapan.

Kompas.com telah berupaya menghubungi namun belum mendapat respons.

Sumebr: wartakota

Komentar