Prabowo Mengaumlah: Copot Kapolri, Reshuffle Kabinet, Singkirkan Geng Solo!
INDONESIA berdarah lagi. Affan Kurniawan, pengemudi ojol, tewas dilindas rantis Brimob di tengah demonstrasi.
Ini bukan sekadar insiden teknis. Ini adalah extra-judicial killing—pembunuhan di luar hukum oleh negara.
Dan ketika negara membunuh warganya sendiri, demokrasi tak lagi sekadar rapuh. Ia runtuh.
Seperti pernah diingatkan Elie Wiesel, penyintas Holocaust: “The opposite of love is not hate, it’s indifference.”
Yang membunuh bukan hanya peluru atau ban kendaraan taktis, tapi ketidakpedulian negara terhadap nyawa rakyatnya.
Muhammadiyah sudah bicara. LHKP dan Majelis Hukum HAM PP Muhammadiyah menuntut Presiden bertanggung jawab.
Lima tuntutan mereka jelas: investigasi independen, reformasi Polri, copot Kapolri, bebaskan demonstran, dan hentikan pendekatan represif.
Kita tak bisa lagi menyapih masalah ini dengan kata-kata manis. Seperti kata Martin Luther King Jr.: “Injustice anywhere is a threat to justice everywhere.”
Ketidakadilan di satu titik adalah ancaman bagi keadilan di seluruh negeri.
Dan Imam Ali bin Abi Thalib r.a. jauh hari sudah mengingatkan: “Tidak ada kebajikan yang lebih utama daripada menegakkan keadilan.”
Jika keadilan dipatahkan oleh tangan penguasa, maka kehancuran negara tinggal menunggu waktu.
Kapolri Listyo Sigit boleh berkilah, menyebut demo anarkis, mengutip UU No. 9 Tahun 1998.
Tapi ketika aparat negara menginjak rakyatnya, bukan rakyat yang salah. Negara yang gagal.
Jenderal Hugeng, polisi paling jujur yang pernah dimiliki negeri ini, pernah berkata: “Kalau kita mau jujur, polisi itu bukan untuk menindas rakyat. Polisi itu untuk melindungi rakyat.”
Pertanyaannya, di mana letak perlindungan ketika rantis justru menggilas nyawa warga?
Prabowo tak bisa lagi ragu. Ini bukan sekadar isu keamanan, ini ujian kepemimpinan.
Jika dia ingin dikenang sebagai presiden yang berani, dia harus mengaum, bukan mengeong.
Langkah pertama: copot Kapolri sekarang juga!
Langkah kedua: reshuffle kabinet untuk singkirkan benalu yang bikin gaduh.
Langkah ketiga: putus total dengan Geng Solo—lingkaran yang masih menjadikan negara sebagai alat untuk melanggengkan bayang-bayang kekuasaan lama.
Kita tak naif. Di balik kericuhan, ada tangan-tangan yang mengadu domba.
Jokowi dan lingkarannya tahu: jika negara gagal mengendalikan situasi, narasi yang mereka bangun adalah Prabowo tak becus memimpin.
Siapa yang diuntungkan? Tentu saja sang anak emas, Gibran.
Ini bukan sekadar spekulasi. Pola ini berulang: menciptakan kekacauan untuk menguatkan argumen bahwa “Presiden gagal”.
Jangan sampai Prabowo terperangkap dalam jebakan ini. Dia harus memutus mata rantai ini sekarang.
Kerusuhan adalah oksigen bagi Geng Solo. Lantaran itu, rakyat juga harus tetap cerdas.
Protes boleh, bahkan harus, tapi jangan anarkis. Jangan beri mereka alasan untuk menjatuhkan Presiden dengan cara kotor.
Apakah Presiden akan memilih diam dan membiarkan demokrasi terbakar, atau mengaum memutus rantai kekuasaan lama? Sejarah sedang mengetuk pintu.
Prabowo harus berani. Copot Kapolri. Reshuffle kabinet. Singkirkan Geng Solo.
Jika tidak, bangsa ini akan terus jadi korban skenario licik orang-orang yang menjadikan negeri ini papan catur kekuasaan. ***
Sumber: LiraNews
Artikel Terkait
Wamenkomdigi: Penonaktifan Live TikTok Bukan Permintaan Pemerintah
Sri Mulyani Jamin Tidak Ada Kenaikan Pajak Setelah Rumah Dijarah
Banyak Kejanggalan! Mahasiswa FH Unnes Tewas Seusai Dibawa Brimob, Polisi Klaim Kecelakaan
Polisi Tangkap 13 Orang terkait Penjarahan Rumah Uya Kuya, Usut 2 Kasus