Determinan Politik Atas Hukum

- Selasa, 22 Juli 2025 | 11:20 WIB
Determinan Politik Atas Hukum


Jalan politik memang sulit untuk ditebak, kadang lurus, tetapi kadang juga berkelok-kelok, cendrung berbahaya tetapi juga cendrung membahayakan. Jalan berliku itu seringkali menjadi epos bagi para politisi untuk merebut kekuasaan. Dan mahar politik pun sulit untuk dhindari. Dari awal penulis sudah mendalilkan dalam buku “politik Mahar, Mahar politik, Ancaman demokrasi”  kenapa menjadi ancaman demokrasi? sebab untuk maju pada ruang kontekstasi politik, paling tidak harus mengeluarkan anggaran yang cukup besar---bukan hanya upaya membeli partai politik tetapi juga praktek money politics bukan sulit untuk dihindari. Sehingga mahar menjadi “kubangan” praktek koruptif dalam kekuasaan. 

Tetapi pada sesi tulisan kali ini penulis enggan untuk membahas bagaimana bahaya  mahar politik dan politik mahar dalam demokrasi, tetapi yang ingin penulis suguhkan adalah fenomena legal tragedy dalam politik Indonesia akhir-akhir ini. Seperti membaca ulang pikiran Jean Baudrillard tentang simulakra dan hiperealitas dalam kehidupan politik Indonesia, begitu pula dengan prinsip-prinsip hukum dalam negara. 

Kehidupan politik selama 10 tahun terakhir memberi isyarat akan “Eksistensi Simulakra,” bagi Baudrillard simulakra adalah citra diri, ilusi yang mewakili kenyataan yang ada. Tetapi pada faktanya: ilusi dan citra diri menjadi dominan dalam perilaku politik. Seperti kesederhanaan tidak selalu berdiametrikal dengan kebaikan, ketulusan, kepolosan dan kesederhanaan itu sendiri. Citra diri pada akhirnya membalikkan kenyataan yang ada. Yang lazim kesederhanaan itu adalah kebajikan dan kebijaksanaan, bukan kepongahan, kesombongan dan kemewahan. 

Di samping citra diri—ilusi juga begitu berpengaruh (pandangan Baudrillard), ilusi tentang kebaikan “berarti buruk” dalam kenyataan. Ilusi misalnya tentang demokrasi, justru indeks demokrasi kita menurun. Simulakra telah memproduksi ilusi dan citra diri yang berlebihan. Kata Baudrillard selanjutnya adalah “Hiperealitas” suatu pencampuran dari ilusi dan citra diri pada seseorang yang berlebihan. Fenomena kepemimpinan 10 tahun terakhir “citra diri” begitu menonjol dengan memburu legacy politik atas semua apa yang dilakukannya. 

Jokowi dengan citra diri adalah politik simulakra---bagi sebagian kalangan menganggap bahwa semua itu polesan, ilusi dan fantastisme yang ingin dibangun untuk meraih simpatik. Kejanggalan itu terlihat sebagai sebuah ilusi adalah ketika beberapa lembaga survey merilis dengan tingkat kepuasan publik di atas rata-rata 78 %, anomali di tengah runtuhnya sendi-sendi bernegara, demokrasi yang diberangus, hukum yang hancur, cara berwarga negara kian terbelah, intoleran, serta kekerasan-kekerasan lainnya sebagai bukti indeks demokrasi yang menurun dan juga indeks kemanusiaan yang kurang lebih sama. Ilusi dan citra diri adalah sebuah gangguan psikologis bagi seseorang dalam frame kekuasaan—merasa kuat, merasa hebat, merasa terhormat dan merasa paling berkuasa. Tetapi kita lupa bagaimana pesan Sigmund Freud tentang kecemasan seseorang terhadap peran dan posisi ketika ia tak lagi berkuasa, maka berkecendrungan menderita kecemasan neuritic yang pada akhirnya memunculkan rasa cemas yang berlebihan, sehingga berdampak pada gangguan psikologis---berujung sakit. 

Ilusi dan citra diri yang berlebihan berakibat pada kurangnya perhatian pada aspek-aspek lain dalam pembangunan, termasuk penegakan hukum (Law Enforcement), hal ini menjadi anomalies, ketika hukum mati di lembaga hukum karena intervensi politik penguasa. Fenomena ini justru memperburuk kondisi hukum yang ada. Akhirnya hukum menjadi singa bagi binatang lainnya---hukum menjadi alat kekuasaan untuk mematikan lawan politiknya dengan berbagai cara. 

Fenomena kasus Tom Lembong

Tanpa harus membela Tom Lembong (Mantan Menteri Perdagangan 2015-2016) yang secara tiba-tiba ditersangkakan oleh Kejagung dengan tuduhan korupsi import gula di zaman presiden Jokowi. Ini menjadi tanda tanya berbagai pihak terkait penahanan Tom Lembong dikasus import gula, yang justru sprindiknya dibuat sekitar tahun 2023 saat Tom Lembong menjadi Co Captain pemenangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar di Pilpres 2024. Dari sini kita paham adanya upaya utuk menghalangi oposisi dalam hal ini Tom Lembong ada dibarisan perubahan. 

Dan untuk menelisik lebih jauh terkait kasus Tom Lembong apakah “Politisasi atau upaya Law Enforcement” setidaknya mari kita coba melihat potensi kerugian negara atas impor gula dari kemendag (kementerian Perdagangan), Tom Lembong (2015-2016) total impor 5 juta ton, Enggartiasto Lukita (Mendag 2015-2016) total impor 15 juta ton, Agus Suparmanto (Mendag 2019-2020) total import 9,5 juta ton, Muhammad Luthfi (Mendag 2020-2022) total import 13 juta ton, dan Zulkifli Hasan (Mendag 2022-2024) total impor 18 juta ton. Dari data tersebut kita bisa tarik satu catatan bahwa kasus Tom Lembong berkecendrungan adanya upaya politisasi hukum negara atas warga negara. Seperti halnya Anies Baswedan 19 kali gelar perkara di KPK tetapi tak satupun cela untuk mentersangkakan Anies Baswedan, dari sini kita tahu kalau kekuasaan memakai tangan atau instrumen yang lain sebagai alat gebuk bagi lawan politiknya. Demikian pula Hasto Kristiyanto (Sekjen PDIP) ditahanan KPK yang terus bergulir hingga saat ini. Pertanyaannya bagaimana dengan menteri perdagangan yang lainnya? apakah mereka tidak korupsi? apakah kebijakannya tidak merugikan negara?

Law Enforcement adalah amanat reformasi 98 dan menjadikan hukum sebagai panglima dalam upaya untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih dan berwibawa (Good Governance and Clean Governance) yang jauh dari KKN (Kolusi, Korupsi, Nepotisme). Spirit sejarah ini setidaknya menjadi semangat penegakan hukum tanpa pandang bulu (memukul lawan dan merangkul kawan). Tetapi praktek kekuasaan selama kurun waktu 10 tahun terakhir ini kondisi hukum kita berada di titik nadir--paradigma negara hukum berubah menjadi negara kekuasaan. 

Praktek hukum hanya tegak pada lawan politik (oposisi), tetapi letoy pada kolega politik (terlihat fenomena politik sandera). Pesan menohok dari Baharuddin Lopa---berdirilah pada kebenaran, sekalipun anda sendiri. Pesan ini tentunya mengandung makna bahwa kekuatan hukum harus menjadi cermin keadilan dan kebenaran yang berada di tangan para hakim atau para penegak hukumnya.  

Karena jejaring kekuasaan bekerja secara massif untuk mematikan hukum lewat kuasa dan uang. Munculnya mafia peradilan, penegak hukum yang saling membunuh (tragedi Sambo), konstitusi negara yang teracak karena mengikuti kemauan penguasa, korupsi, illegal mining, pembalakan hutan, penjualan pasir laut, tingginya biaya kebutuhan hidup sementara kondisi ekonomi masyarakat yang semakin melemah, kecurangan-kecurangan dalam proses politik—semua itu merupakan akumulasi dari kejahatan negara di mana hukum tumpul pada kolega tetapi tajam pada warga negaranya. Ini fenomena terburuk dalam kekuasaan, negara, politik dan demokrasi. 

Amanat reformasi untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih dan hukum menjadi panglimanya---sepertinya itu hanya ilusi (Baudrillard), padahal itu adalah cita-cita dan harapan akan perbaikan politik di Indonesia setelah melewati fase militerisme otoritarianisme orde baru yang berkuasa selama 32 tahun lamanya. Maka demokrasi harus menjadi pilihan terbaik untuk memperbaiki tatanan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Sekali lagi kasus Tom Lembong adalah fenomena baru dalam prinsip-prinsip hukum, sebab pihak kejaksaan mengatakan bahwa tak perlu bukti aliran dana ke Tom Lembong untuk menjadikan ia tersangka. Dalam prinsip hukum kita kenal istilah “In criminalibus probantiones bedent esse luce clariores” yang artinya dalam perkara pidana, bukti-bukti harus lebih terang daripada cahaya. Sepertinya prinsip dasar dalam hukum itu tidak dipakai oleh kejaksaan untuk menetapkan Tom Lembong sebagai pihak tersangka. Hingga vonis 4,5 tahun penjara, tanpa bukti dan tanpa ada kerugian negara, di mana hakim hanya menyebutkan bahwa dalil vonis tersebut hanya karena Tom Lembong berpihak pada kapitalis---sangat normatif dan apologis statement seorang hakim yang memutus perkara tersebut. Hotman Paris dan beberapa pakar hukum pun memberikan dalil yang kuat kalau Tom Lembong seharusnya bebas. 
 
Perkara hukum bukan hanya soal salah atau benar—tetapi lebih dari itu hukum selalu mempersoalkan tentang keadilan (justice). Ketidakadilan dalam perkara impor gula yang mentersangkakan Tom Lembong (tanpa bukti kata; pihak kejaksaan) justru menjadi polemik hukum di tengah publik, mengingat mantan menteri perdagangan setelah Tom Lembong dengan jumlah populasi impor gula yang jauh lebih besar terkesan di diamkan oleh kejaksaan agung, termasuk Zulkifli Hasan (Menteri Perdagangan hingga saat ini) terkesan dilindungi dan tak tersentuh hukum. Prinsip dasar Equality before the law (Semua orang sama di hadapan hukum) menjadi bluur dan bias. Artinya semua orang sam di mata hukum, tetapi tidak semua orang sama dalam perlakuan hukum. Dan itu adalah fakta yang sulit dibantah akhir-akhir ini. 

Dan inilah fakta kalau praktek kekuasaan menjadikan instrumen hukum lewat penegak hukum sebagai alat gebuk bagi lawan politiknya. Di titik ini, hukum menjadi monster yang menakutkan bagi setiap warga negara—karena keadilan menjadi hal yang mustahil bisa tegak di tangan kekuasaan yang otoritarian. Dan ini adalah warisan sejarah kelam politik dan praktek hukum di Era Jokowi. Pidato Jokowi dihadapan para menteri dan pejabat negara telah memberi ruang “apriori dan skeptisme”—Jokowi; saya tinggal bisik Kapolri, kejaksaan dan KPK, bahwa di sana ada yang main-main. 

Kalimat ini memberi indikasi kuat kalau tangan-tagan hukum akan dipakai secara politik untuk memberangus dan meringkus “lawan politik” termasuk mereka yang melakukan korupsi, walau hal itu juga pada akhirnya tidak dilakukan oleh Jokowi. Justru yang terjadi adalah melindungi kawan dan kolega politiknya. Padahal secara kasat mata begitu banyak kolega disekeliling Jokowi yang melaukan tindak pidana korupsi tetapi tidak tersentuh hukum, bahkan cendrung dibiarkan. Dari titik inilah kemudian hukum mati karena determinan politik atas hukum—hukum yang bekerja hitam putih, merubah cara kerja menjadi abu-abu (sangat politis). 

Oleh: Saifuddin
Direktur Eksekutif LKiS, Dosen, Academic Writing, Penggiat Demokrasi. 
Penulis Buku: Politik Tanpa Identitas, Obituari Demokrasi, Elegi Demokrasi, Catatan cacat-an Demokrasi, Legal Tragedy Dalam politik, Dramaturgi Demokrasi dan 42 buku lainnya. 
______________________________________
Disclaimer: Rubrik Kolom adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan GELORA.ME terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi GELORA.ME akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

Komentar