PSI Award: Prabowo Layak Menyandang Gelar Tokoh Dengan Kebohongan Terbanyak – Dari Pembohong Menjadi Panglima

- Senin, 21 Juli 2025 | 17:30 WIB
PSI Award: Prabowo Layak Menyandang Gelar Tokoh Dengan Kebohongan Terbanyak – Dari Pembohong Menjadi Panglima


PSI Award: Prabowo Layak Menyandang Gelar 'Tokoh Dengan Kebohongan Terbanyak' – Dari Pembohong Menjadi Panglima


Oleh: Ali Syarief

Akademisi


Pada tahun 2018, Partai Solidaritas Indonesia (PSI) meluncurkan sebuah acara bertajuk PSI Awards: Penghargaan Kepalsuan”. 


Dalam nuansa satir, acara tersebut dimaksudkan untuk mengkritik tokoh-tokoh publik yang dianggap kerap menyebarkan informasi menyesatkan atau kebohongan dalam ruang demokrasi. 


Salah satu penerima “penghargaan” tersebut adalah Prabowo Subianto—saat itu merupakan Ketua Umum Partai Gerindra dan rival politik Joko Widodo dalam Pemilu 2019.


PSI menilai Prabowo layak menyandang gelar “Tokoh dengan Kebohongan Terbanyak” karena sejumlah pernyataan bombastis yang dinilai tidak akurat, salah satunya adalah klaim bahwa 99 persen rakyat Indonesia hidup dalam keadaan miskin. 


Bagi PSI, pernyataan semacam itu tidak hanya keliru secara data, tetapi juga merupakan bentuk manipulasi emosi publik dengan narasi pesimistis. 


Grace Natalie, Ketua Umum PSI waktu itu, secara terbuka menegaskan bahwa penghargaan itu adalah kritik terhadap gaya politik lama yang sarat kepalsuan dan retorika tanpa dasar.


Namun, waktu membalikkan segala sesuatu. Prabowo, yang pernah mereka cap sebagai pembohong, kini justru dielu-elukan sebagai tokoh yang didukung habis-habisan oleh PSI dalam Pilpres 2024.


Dan lebih ironisnya lagi, dalam sebuah pidato publik, Prabowo bahkan mengklaim bahwa Grace Natalie pernah menyatakan keinginannya untuk menjadi anggota Partai Gerindra.


Pernyataan itu sontak membuat publik tercekat. Betapa tidak: seorang pemimpin partai yang pernah secara frontal mengkritik Prabowo, kini disebut oleh Prabowo sendiri ingin bergabung dengannya. 


Apakah ini tanda bahwa PSI telah kehilangan arah ideologisnya? 


Atau, seperti yang diyakini sebagian kalangan, PSI hanya sedang mencari pelampung kekuasaan demi eksistensi politik di tengah persaingan yang brutal?


Apa pun jawabannya, narasi ini menunjukkan betapa cepat dan drastisnya transformasi politik bisa terjadi di Indonesia. 


Prabowo, dari tokoh yang dijauhi oleh kalangan muda progresif, kini menjadi magnet bagi partai-partai yang dahulu menggambarnya sebagai ancaman demokrasi. 


Sementara PSI, yang lahir dengan semangat anti-politik tua dan menjunjung politik bersih, kini berada dalam pelukan tokoh yang pernah mereka sebut “pembohong”.


Tentu, politik adalah seni kemungkinan. Tetapi ketika prinsip-prinsip dikorbankan atas nama strategi, maka yang tersisa hanyalah kemasan tanpa isi. 


Demokrasi kita bisa kehilangan daya kritis jika partai-partai seperti PSI memilih untuk menelan kembali ludah mereka sendiri, demi sekadar mendapatkan tempat di meja kekuasaan.


Penghargaan kepada Prabowo sebagai “Pembohong” kini bukan hanya menjadi catatan sejarah, tetapi juga cermin bagi publik: bahwa dalam politik, seringkali tidak ada kebenaran abadi—hanya kepentingan yang berganti-ganti baju.


Cara Prabowo Menjatuhkan Grace Natalie: Aib di Tengah Panggung Politik!


Dalam sebuah pembukaan pidato politik yang ditunggu-tunggu, Presiden sekaligus Ketua Umum Partai Gerindra, Prabowo Subianto, menyampaikan kalimat yang di permukaan tampak ringan, penuh canda, namun sesungguhnya adalah tamparan keras dan terencana. 


Di hadapan peserta kongres partai, para petinggi politik, dan jutaan rakyat yang menonton lewat siaran televisi, Prabowo mengungkit peristiwa yang mungkin ingin dilupakan oleh Wakil Ketua Dewan Pembina PSI, Grace Natalie. 


“Ingat nggak dulu telponan?” katanya sambil tertawa. 


Tapi tawa itu membawa beban politik yang berat: aib.


Kalimat itu bukan sekadar nostalgia. Ia adalah senjata. 


Prabowo sedang memainkan satu jurus klasik dalam politik: membuka aib lawan di ruang publik untuk melemahkan kredibilitasnya, bahkan dari dalam barisan sendiri. 


Dengan menyebut bahwa Grace Natalie dulu “hampir masuk Gerindra”, Prabowo sedang memosisikan Grace sebagai seorang politisi yang pernah ragu, pernah hampir berpaling, dan—dalam bahasa politik—pernah ingin “mengkhianati” partainya sendiri.


Dalam dunia politik, keinginan pindah partai bukan perkara sepele. Partai bukan sekadar organisasi, tapi wadah ideologi, solidaritas, dan identitas. 


Ketika seseorang berpikir untuk berpindah, apalagi dari satu kutub ke kutub yang lain, maka sesungguhnya ia sedang mempertaruhkan loyalitas dan kepercayaan publik. 


Di mata kader dan simpatisan PSI, ungkapan Prabowo itu bisa ditafsirkan sebagai bentuk ketidaksetiaan Grace. 


Bukankah ia sekarang adalah simbol utama PSI? Bayangkan bila simbol itu ternyata pernah hampir menjadi bagian dari “musuh”.


Dalam politik Indonesia yang semakin pragmatis, perpindahan partai bukan hal asing. 


Namun yang membedakan adalah narasi. Siapa yang pertama membongkar, siapa yang mengendalikan cerita, dan siapa yang menjadi korban. 


Dalam hal ini, Prabowo tampaknya paham betul panggung mana yang paling strategis untuk memukul. 


Bukan di ruang sidang, bukan lewat media, tapi langsung dalam forum akbar partai—tempat di mana ia adalah tuan rumah, dan Grace adalah tamu yang tak bisa berkutik.


Pernyataan itu menjatuhkan Grace bukan hanya di hadapan lawan politik, tetapi juga di hadapan koalisi sendiri. 


PSI yang selama ini berupaya menampilkan diri sebagai partai muda, bersih, dan konsisten, kini harus berhadapan dengan narasi bahwa salah satu tokoh utamanya pernah hampir “berlabuh” ke partai lain. 


Bagi Prabowo, ini adalah cara halus tapi mematikan untuk menegaskan dominasi: bahwa dalam dunia politik, bahkan sekutu pun bisa ditampar, jika dirasa mulai membahayakan atau mencoba terlalu dekat dengan cahaya.


Lalu, apa motif Prabowo? Bisa jadi ini adalah sinyal bahwa PSI terlalu ingin mencuri panggung, atau bahwa Grace terlalu sering tampil seolah membawa moral tinggi dalam koalisi yang sedang dibentuk. 


Atau barangkali Prabowo hanya ingin mengingatkan bahwa di dunia politik, semua orang punya masa lalu, dan masa lalu itu bisa menjadi senjata kapan saja.


Prabowo telah menunjukkan satu hal: kekuasaan bukan hanya soal jabatan, tapi juga tentang siapa yang mengendalikan narasi. 


Dan dalam narasi itu, menjatuhkan lawan tak harus lewat konfrontasi keras, cukup dengan mengungkit satu momen pribadi di tengah keramaian. 


Maka, panggung politik bukan hanya soal siapa yang bicara lebih lantang, tapi siapa yang bicara dengan lebih strategis. Dan kali ini, Prabowo-lah yang menang. ***


👇



Sumber: FusilatNews

Komentar