Wakil-wakil menteri yang rangkap jabatan bisa terus menjadi komisaris BUMN. Itu setelah Juhaidy Rizaldy Roringkon, yang menggugat praktik itu ke Mahkamah Konstitusi, mendadak meninggal dunia.
Sebuah upaya penting untuk memperjelas aturan rangkap jabatan bagi para wakil menteri atau wamen harus berakhir dengan cara yang tak terduga dan tragis.
MK secara resmi menyatakan tidak dapat menerima permohonan uji materi terkait larangan wamen merangkap jabatan.
Bukan karena substansi gugatan yang lemah, melainkan karena sang pemohon telah berpulang.
Juhaidy Rizaldy Roringkon sebagai Direktur Eksekutif Indonesia Law and Democracy Studies, adalah pihak pemohon.
Dia yang dengan gigih memperjuangkan agar wamen tunduk pada aturan yang sama dengan menteri, meninggal dunia saat proses peradilannya masih bergulir.
Putusan Gugur Karena Kehilangan Kedudukan Hukum
Dalam sidang pembacaan putusan pada Kamis (17/7) pekan ini, Ketua MK Suhartoyo mengetuk palu dengan amar putusan yang singkat namun definitif.
"Menyatakan permohonan pemohon Nomor 21/PUU-XXIII/2025 tidak dapat diterima," kata Suhartoyo di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta.
Alasan di balik putusan ini dijelaskan secara rinci oleh Wakil Ketua MK, Saldi Isra.
Mahkamah telah menerima bukti valid berupa surat keterangan dari Rumah Sakit dr Suyoto Jakarta, yang menyatakan bahwa Juhaidy Rizaldy Roringkon telah meninggal dunia pada 22 Juni 2025.
Saldi Isra menjelaskan, dalam hukum acara MK, syarat utama sebuah permohonan adalah adanya kerugian hak konstitusional yang dialami oleh pemohon.
Dengan meninggalnya pemohon, maka kerugian tersebut secara hukum tidak lagi relevan dan tidak dapat dipertimbangkan lebih lanjut.
"Dengan demikian, dikarenakan pemohon telah meninggal dunia maka seluruh syarat anggapan kerugian yang didalilkan pemohon dalam menjelaskan kedudukan hukum yang bersifat kumulatif tidak terpenuhi oleh pemohon," tutur Saldi.
- Pemohon: Juhaidy Rizaldy Roringkon (Direktur Eksekutif Indonesia Law and Democracy Studies).
- Objek Gugatan: Pasal 23 UU No. 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara.
- Substansi Masalah: Pasal tersebut hanya melarang menteri merangkap jabatan (misal: komisaris BUMN), tetapi tidak secara eksplisit menyebut wakil menteri.
- Dasar Gugatan: Menciptakan persaingan tidak sehat untuk posisi komisaris/dewan pengawas BUMN dan mengacu pada putusan MK sebelumnya (No. 80/PUU-XVII/2019) yang secara prinsip setuju wamen harus dilarang rangkap jabatan.
- Perkembangan: Pemohon meninggal dunia pada 22 Juni 2025.
- Putusan Akhir: Permohonan tidak dapat diterima (gugur) pada 17 Juli 2025.
Substansi Gugatan yang Kembali Tak Tersentuh
Ironisnya, gugatan yang diajukan Juhaidy menyentuh isu krusial yang sudah lama menjadi perdebatan.
Ia menyoroti Pasal 23 UU Kementerian Negara yang berbunyi:
"Menteri dilarang merangkap jabatan sebagai: a. pejabat negara lainnya...; b. komisaris atau direksi pada perusahaan negara atau perusahaan swasta;...dst."
Frasa "wakil menteri" tidak tercantum dalam pasal tersebut, menciptakan celah hukum yang memungkinkan wamen menduduki posisi strategis seperti komisaris di Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Juhaidy merasa hak konstitusionalnya dirugikan karena praktik ini menutup kesempatannya di masa depan untuk bersaing secara adil menjadi komisaris BUMN.
"Dengan tidak [ada] larangan dalam UU Kementerian Negara, pemohon yang juga nantinya berkesempatan menjadi komisaris dan/atau dewan pengawas BUMN akan tertutup karena akan bersaing dengan para wakil menteri yang telah dekat dengan kekuasaan..." demikian kutipan dari berkas permohonannya.
Dalam permohonannya, Juhaidy bahkan mengutip putusan MK sebelumnya (Nomor 80/PUU-XVII/2019) yang secara substansi sebenarnya setuju dengannya.
Pada putusan itu, MK menyatakan bahwa status wamen seharusnya disamakan dengan menteri, sehingga larangan rangkap jabatan juga berlaku bagi mereka.
Namun, sama seperti kasus ini, permohonan tersebut kala itu juga tidak dapat diterima karena pemohonnya dianggap tidak memiliki kedudukan hukum.
Juhaidy berharap bisa "menghidupkan" norma yang diakui MK itu ke dalam undang-undang.
Ia meminta MK untuk menambahkan frasa "dan wakil menteri" setelah kata "menteri" dalam Pasal 23, sehingga berbunyi: "Menteri dan wakil menteri dilarang merangkap jabatan sebagai:..."
Kini, dengan gugurnya permohonan akibat wafatnya sang pemohon, celah hukum mengenai rangkap jabatan wakil menteri kembali dibiarkan menganga, menunggu pejuang konstitusi lain untuk melanjutkannya.
Sumber: suara
Foto: Juhaidy Rizaldy Roringkon, pemohon agar wakil menteri tidak bisa rangkap jabatan sebagai komisaris BUMN meninggal dunia. MK dengan demikian tidak bisa menerima gugatan tersebut. [Instagram]
Artikel Terkait
Geger! Skandal Seks Rp 195 Miliar Melibatkan 9 Biksu Thailand, Masyarakat Pertanyakan Kemana Sumbangan Umat Digunakan
Pesta Rakyat Telan 3 Nyawa, Kebohongan Dedi Mulyadi Terkuak Lewat Kontennya: Makan-Nonton Sepuasnya!
Kasus Thomas Lembong, Hardjuno: Diskresi Menteri Jangan Dijadikan Alat Balas Dendam
Jokowi: Saya Akan Bekerja Keras untuk PSI