DARI STOCKHOLM 1972 HINGGA RAJA AMPAT

- Selasa, 17 Juni 2025 | 14:00 WIB
DARI STOCKHOLM 1972 HINGGA RAJA AMPAT


“[Masalah lingkungan] … belum mendapat perhatian utama dalam pembahasan badan-badan PBB yang berwenang…. Lebih jauh lagi, karena masalah lingkungan manusia semakin serius setiap harinya… karena itu, ada kebutuhan yang tidak terbantahkan untuk menciptakan dasar bagi pertimbangan yang komprehensif dalam PBB mengenai masalah lingkungan manusia.”

Hal tersebut di atas adalah surat tertanggal 20 Mei 1968 dari Perwakilan Tetap Swedia yang ditujukan kepada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa. Responsnya mengejutkan. Meskipun ada politik Perang Dingin, Uni Soviet dan anggota blok Timur lainnya bergabung dengan Amerika Serikat dan sebagian besar negara Eropa Barat dalam mendukung inisiatif Swedia. 

Namun, Prancis dan Inggris mengklaim tidak ada kebutuhan besar untuk tindakan PBB terkait lingkungan. Mereka khawatir konferensi semacam itu dapat digunakan oleh negara-negara berkembang untuk mendapatkan lebih banyak dukungan finansial, terutama dari bekas negara kolonial. Banyak negara berkembang merasa tidak nyaman bahwa kepentingan Utara akan mendominasi konferensi yang diusulkan dan bahwa "isu lingkungan" akan menjadi alasan untuk membatasi pembangunan mereka (Linnér dan Selin, 2005, hlm. 60).

Pada bulan Desember 1968, Swedia telah memperoleh dukungan yang cukup. Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa mengadopsi resolusi 2398 (XXIII), yang menyerukan agar konferensi tentang hubungan antara isu lingkungan, sosial, dan ekonomi diselenggarakan pada tahun 1972. Pada bulan Mei 1969, Perserikatan Bangsa-Bangsa menerima tawaran Swedia untuk menjadi tuan rumah konferensi di Stockholm. Konferensi tersebut tidak akan mengambil keputusan. Setiap rekomendasi yang timbul darinya harus secara resmi diadopsi oleh Majelis Umum.

Sekretaris Jenderal PBB saat itu U Thant menugaskan Maurice Strong, seorang pengusaha dan, saat itu, kepala Badan Pembangunan Internasional Kanada (CIDA), untuk menjadi Sekretaris Jenderal Konferensi. Strong membayangkan proses persiapan tiga bagian yang akan membangun basis informasi tentang isu lingkungan, karena ini merupakan bidang baru bagi PBB, dan bertindak berdasarkan informasi tersebut: (1) Kerangka intelektual dan konseptual: Strong menugaskan laporan pertama tentang “kondisi lingkungan”. Laporan ini mewakili pengetahuan dan pendapat para ahli dan pemikir terkemuka dunia tentang hubungan antara manusia dan habitat alami mereka. Judul laporan, “Hanya Satu Bumi,” menjadi moto Konferensi Stockholm. (2) Rencana aksi untuk pekerjaan mendatang: Para diplomat memulai diskusi awal mengenai rekomendasi konkret untuk tindakan lebih lanjut dan pengaturan kelembagaan untuk mengambil tindakan tersebut. Jenis rencana aksi ini akan menjadi model bagi banyak konferensi global PBB mendatang. (3) Isu-isu yang memerlukan tindakan segera: Ini termasuk isu-isu spesifik yang memerlukan tindakan internasional segera yang dapat diselesaikan, setidaknya melalui tahap awal, pada saat konferensi. Saran-saran pemerintah termasuk pembentukan awal sistem pemantauan lingkungan global, pendaftaran internasional senyawa kimia, dan tindakan-tindakan penanggulangan pencemaran laut (Engfeldt, 2009). 

Mengapa isu lingkungan begitu penting

Perubahan iklim bumi terjadi seiring dengan banyaknya aktivitas manusia, gtermasuk juga dengan tingkat populasi manusia semakin bertambah,  terutama terkait pembakaran bahan bakar fosil, seperti batu bara, minyak, dan gas untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Efek dari adanya aktivitas pembakaran bahan bakar tersebut yaitu terperangkapnya panas sehingga suhu rata-rata di muka bumi dan atmosfer mengalami kenaikan. Fenomena perubahan suhu yang semakin meningkat bersumber dari perilaku manusia yang tidak mampu menjaga dan menghargai lingkungan di sekitarnya. 

Isu mengenai lingkungan hidup tersebut ternyata bukanlah hal baru, melainkan sudah menjadi pusat perhatian dunia sejak dahulu yang dibahas melalui sebuah konferensi tingkat internasional bernama Konferensi Stockholm. Konferensi Stockholm digagas oleh PBB dan dilaksanakan pada tanggal 5-16 Juni 1972 di Stockholm, Swedia. Konferensi ini menjadi titik puncak kesadaran dunia internasional terhadap pentingnya menjaga lingkungan hidup dan mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan. 

Stockholm; “Bumi Masih Satu” 

Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Lingkungan Hidup Manusia di Stockholm tahun 1972 mengawali era baru kerja sama global dalam isu lingkungan. Konferensi ini membuka jalan bagi konsep pembangunan berkelanjutan dan melahirkan Program Lingkungan Hidup Perserikatan Bangsa-Bangsa. Pelajaran apa yang dapat dipetik dari konferensi ini saat kita menghadapi krisis global yang terus meningkat? 

Pada tahun 1972, Apollo 17 mengambil foto berwarna pertama Bumi. Foto itu memperlihatkan dunia kita sebagai kelereng biru yang berlatar belakang hamparan hitam. Kita bersama-sama memahami bahwa Bumi kita yang satu ini adalah sistem yang tertutup, terbatas, dan satu-satunya rumah kita. Merupakan tanggung jawab kita untuk merawat kelereng biru kita [atau Satu Bumi] “sebagai mekanisme yang utuh dan rumit yang mendukung jaringan kehidupan yang saling berinteraksi dan terhubung yang sangat rumit” (Engfeldt, 2009, hlm.26). 

Selama dekade sebelumnya, serangkaian bencana lingkungan memicu kesadaran dan perhatian tentang lingkungan alam. Tujuh ratus lima puluh orang tewas dalam kabut “sup kacang” yang disebabkan oleh polusi udara di London pada tahun 1962. Tumpukan limbah tambang batu bara runtuh pada tahun 1966, mengubur 116 anak-anak dan 28 orang dewasa di Aberfan, Wales. Pada tahun 1967, kapal tanker minyak Torrey Canyon menumpahkan jutaan liter minyak di Selat Inggris. 

Pada tahun 1969, sebuah kereta api yang lewat tanpa sengaja memicu serpihan-serpihan puing yang mengapung dan terkena tumpahan minyak di Sungai Cuyahoga, Ohio. Tumpahan minyak di lepas pantai Santa Barbara, California, menewaskan sekitar 3.500 burung laut. Eropa dikejutkan oleh keracunan ikan massal di Sungai Rhine. Kekeringan melanda Sahel, menyebabkan kelaparan di antara sebagian orang termiskin di dunia. Jepang berduka atas 2.265 korban keracunan merkuri yang disebabkan oleh perusahaan kimia yang melepaskan racun tersebut ke Teluk Minamata. Nama tempat itu kemudian digunakan untuk menyebut penyakit Minamata, penyakit saraf yang disebabkan oleh keracunan merkuri.

Silent Spring , yang ditulis oleh Rachel Carson, menangkap momen publik dan ilmiah. Carson mengungkap dampak buruk pestisida dan zat kimia lainnya terhadap manusia dan lingkungan. Para ilmuwan mulai mempelajari dampak negatif dunia industri terhadap lingkungan dan masyarakat. Para ilmuwan dan pemimpin negara berkembang mengecam eksploitasi bahan baku yang terus berlanjut di negara mereka oleh mantan penjajah mereka.

Di tengah Perang Dingin dan banyak negara berjuang untuk membebaskan diri dari kolonialisme, jelas bahwa respons kolektif diperlukan. Beberapa pemerintah menyerukan perluasan kegiatan Perserikatan Bangsa-Bangsa ke bidang lingkungan. Perjanjian dasar PBB, Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, bertujuan untuk meningkatkan kondisi kehidupan semua orang, dan mempromosikan perdamaian, stabilitas, pembangunan ekonomi, dan hak asasi manusia. Namun, perjanjian tersebut tidak membahas masalah lingkungan. Pada akhirnya, “inisiatif sebuah negara kecil di Skandinavia yang meletakkan dasar bagi kerja sama internasional dalam masalah lingkungan” (Grieger, 2012).

Isu lingkungan tidak pernah bebas dari perselisihan dan pertentangan. Perdebatan ini membentuk Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Lingkungan Hidup Manusia tahun 1972 dan, pada gilirannya, pengelolaan lingkungan selama 50 tahun berikutnya. Gagasan-gagasan utama, seperti pembangunan berkelanjutan, dan lembaga-lembaga, seperti Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNEP), ada saat ini karena diskusi-diskusi yang dipicu oleh konferensi tersebut. Konferensi Stockholm menunjukkan bahwa, dengan kepemimpinan dan mendengarkan keprihatinan semua pihak, kerja sama dalam isu-isu lingkungan hidup dan pembangunan berkelanjutan adalah mungkin.

Pada akhir tahun 1960-an, Swedia menjadi negara menengah yang disegani, mampu menantang Amerika Serikat dan Uni Soviet serta status quo Perang Dingin mereka. Para diplomat Swedia mencoba mengalihkan agenda global ke arah pembangunan internasional dan perlindungan lingkungan (Grieger, 2012). Pada tahun 1967, Swedia mengusulkan untuk menyelenggarakan konferensi PBB tentang lingkungan manusia, dengan alasan bahwa waktunya sudah tepat untuk diskusi serius dan substantif di tingkat global tentang masalah lingkungan. Swedia bahkan menyarankan bahwa ini bisa menjadi isu yang konstruktif untuk kerja sama global di tengah suasana Perang Dingin yang menegangkan (Engfeldt, 2009, hlm.34).

Tema “Bumi Masih Satu” dapat ditafsirkan, bahwa isu lingkungan bukan hanya soal-soal locally (isu-isu lokal), tetapi perkara lingkungan adalah soal kemanusiaan yang bersifat universal. bahwa bumi masih satu sekaligus menegasikan kalau merawat  lingkungan hidup berarti sudah mengambil peran menjaga bumi dari kerusakan. Dari 28 rekomendasi dari Konferensi Stockholm 1972 isu lingkungan menjadi prioritas utama. 

Bagaimana isu lingkungan di Indonesia

Mem-breakdown dari sejarah konferensi lingkungan hidup pertama di Stockholm-Swedia tahun 1972 tentu Indonesia mengambil peran yang cukup strategis ebagai bagian dari negara berkembang. Potensi sumber daya alam Indonesia yang membentang dari Sabang sampai Merauke dengan kandungan mineral seperti batu bara, nikel, minyak. emas, bauksit, hutan, biodiversity, flora dan fauna, menjadi amgnet sekaligus atmosfer bagi Indonesia untuk dunia. Cadangan sumber daya alam yang dimiliki Indonesia menjadi “medan perang” pangsa pasar global terkait kebutuhan dunia akan energi yang terbarukan. 

Indonesia dianggap sebagai negara yang memiliki cadangan untuk kebutuhan energi dunia, sehingga berbagai persoalan lingkungan kemudian menyeruak dipermukaan. Pembalakan hutan untuk perkebunan sawit, perumahan, pertambangan menjadi isu yang tak pernah selesai disuarakan oleh kelompok civil society (aktivis lingkungan). Kerusakan lingkungan di bangka Belitung beberapa tahun yang lalu yang disuarakan oleh aktivis lingkungan, menuai kriminalisasi. Kerusakan lingkungan akibat tambang ilegal di daratan Kalimantan juga mengalami kerusakan yang parah. Laut, sungai, danau tempat ikan bermain dengan indahnya kembali tercemari karena limbah industri baik limbah pertambangan maupun perkebunan. Bahkan habitus laut pun terkesan diusir dari tempatnya, seperti pagar laut di tangerang beberapa waktu yang lalu. Dan demikian banyak daftar kerusakan lingkungan yang pernah terjadi dan akan terjadi. 

Merawat Raja Ampat, berarti menjaga Indonesia

Hari ini tentu kita semua kaget dan tidak percaya, akibat keberadaan tambang nikel di Raja Ampat yang kita kenal dengan istilah surga terakhir. Raja Ampat yang dikenal juga sebagai kawasan pariwisata dan geopark yang telah diterimanya dari UNESCO. Raja Ampat tentu bukan hanya sekedar destinasi wisata yang mendunia saat ini. tetapi raja Ampat memiliki deskripsi historis, Raja Ampat yang berasal dari bahasa Indonesia yang berarti “Empat Raja” nama tersebut berasal dari legenda lokal yang menceritakan tentang empat raja yang muncul dari telur dan memerintah empat pulau di kawasan tersebut seperti pulau; Walgeo, Salawati, Misool dan Batanta. Dan ini sekaligus mencerminkan struktur sosial dan politik di pulau tersebut. Tetapi juga memiliki makna simbolik yang terkait dengan sejarah dan budaya masyarakat adat. Dengan story telling yang dimiliki Raja Ampat menjadikan daya tarik tersendiri sebagai destinasi budaya dan pariwisata di Indonesia. 

Selain itu Raja Ampat, secara geografis berada di sebuah kabupaten yang terletak di Timur Indonesia Raja Ampat ini sendiri. Bila berbicara mengenai kekayaan laut Raja Ampat, tidak perlu diragukan lagi bahwa kabupaten yang 85% daerahnya berupa perairan ini sangat kaya. Terdapat sekitar 559 spesies karang keras, 699 moluska, 1346 jenis ikan dengan 828 jenis merupakan spesies ikan karang serta lamun dan rumput laut yang belum terlalu dieksplorasi. Terumbu karangnya pun dalam keadaan baik sehingga tak heran bila kawasan Raja Ampat ini masuk dalam coral triangle.

Masyarakat Raja Ampat mengenal budaya “Sasi”. Budaya Sasi ini sebenarnya berasal dari Maluku dan turun temurun sampai ke berbagai daerah di Indonesia termasuk Raja Ampat. Sasi ini merupakan suatu cara konservasi tradisional untuk melindungi keanekaragaman hayati. Keberhasilan konservasi di Raja Ampat tidak lepas dari peran dan pengaruh sasi yang cukup kuat di kawasan ini.

Sasi menjadi bagian yang sangat penting dalam peningkatan populasi sumberdaya alam hayati, dan sangat membantu masyarakat Raja Ampat dalam mengelola dan memanfaatkan sumberdaya alam yang ada sehingga meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat. Sasi berpatokan pada pengelolaan sumberdaya alam secara tradisional serta larangan panen pada sumberdaya darat maupun laut.

Tidak hanya sasi, dikenal juga “Balobe”, cara unik masyarakat di Distrik Teluk Mayalibit Kabupaten Raja Ampat dalam menangkap ikan kembung jantan. Balobe dapat dilakukan saat bulan gelap, dengan mengandalkan cahaya petromaks yang diletakkan di ”kepala” sampan untuk menstimulus ikan naik ke permukaan dan mengikuti arah sampan, sampan diarahkan ke tepian pantai yang telah dibuatkan tanggul menggunakan batu. 

Dengan kekuatan budaya tersebut, maka Raja Ampat tidak cukup mengandung potensi sumber daya alam, tetapi juga akar sejarah dan budaya menjadi perekat utama untuk sampai kepada dunia internasional. Di tengah maraknya penambangan nikel di wilayah Raja Ampat memunculkan berbagai aksi dan reaksi komponen masyarakat. Berbagai spekulasi pun muncul, dipermukaan. 

Dalam studi geneologi kapitalisme yang pernah ditulis oleh Dede Mulyanto yang menggaris bawahi “Antropologi dan Ekonomi Politik, Pranata Eksploitasi kapitalistik” secara gamblang ditegaskan bahwa eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan akan memunculkan berbagai problematik, diantaranya; kerusakan lingkungan, kemiskinan kultural karena menggeser penghidupan habitus manusia, flora dan fauna, serta lebih berorientasi pada market oriented ketimbang daripada humanisme oriented. 

Oleh karena itu, Save Raja Ampat bukanlah slogan belaka, tetapi ini wujud kepedulian terhadap potensi yang tak terbaharukan untuk terus dipelihara dan dijaga sebagai warisan leluhur dan adat budaya yang kemudian menjelma menjadi destinasi pariwisata yang mendunia. Jangan karena keserakahan manusia dan korporasi sehingga melegalkan penghancuran manusia dengan cara merusak alam. 

Ingat, dari Stockholm, BUMI MASIH SATU, dan raja Ampat adalah Bumi yang Masih Satu itu. Menjaga Raja Ampat, juga menjaga Indonesia. 

Semoga bermanfaat.
 
Oleh: Saifuddin
Direktur Eksekutf LKiS
Dosen, Penulis Buku, Peneliti, kritikus sosial politik, Founder Indonesian Corner
______________________________________
Disclaimer: Rubrik Kolom adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan GELORA.ME terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi GELORA.ME akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

Komentar