GELORA.ME - Baru tahu... Ternyata putusan MK yang mengabulkan Gibran jadi cawapres tidak pernah disidangkan MK. Apakah putusan ini sah secara hukum??
Hal ini disampaikan Feri Amsari, pakar hukum tata negara dan dosen Fakultas Hukum Universitas Andalas.
Dari daftar langsung putusan. Tanpa ada sidang pembuktian.
Seperti diketahui lolosnya Gibran sebagai cawapres dimulai oleh gugatan ke MK yang diajukan Almas Tsaqibbirru, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Surakarta (Unsa).
Menurut Feri Amsari ditemukan fakta baru bahwa gugatan yang diajukan/didaftarkan Almas Tsaqibbirru ke MK itu langsung diputuskan/dikabulkan oleh MK (lewat Paman Usman Ketua MK) tanpa ada sidang pembuktian.
"Saya ingin menyampaikan, tidak banyak yang tahu, tetapi merasa tahu. Misalnya, sebagian besar di ruangan ini tidak tahu bahwa perkara putusan MK yang mengabulkan bahwa Gibran memenuhi syarat itu tidak pernah disidangkan dalam perkara pembuktian di MK. Tidak pernah. Dari daftar, langsung putusan.
Apa yang Anda mau katakan soal kebohongan dan fakta baru ini?" kata Feri Amsari.
"Maaf Bung Ferry, ini (fakta baru ini) dapat dipertanggungjawabkan (valid)?" tanya host acara.
"Saya pertanggungjawabkan dunia akhirat (info ini valid)," tegas Feri Amsari.
👇👇
[VIDEO]
TAGS
TAGS2
PUTUSAN TANPA SIDANG, KONSTITUSI TANPA RAKYAT
Oleh: M Yamin Nasution, S.H
Pemerhati Hukum
“Final and Binding. Final tanpa kasasi, mengikat bagi lembaga, tidak bagi orang waras”
Seharusnya, Mahkamah Konstitusi menjadi tempat paling jujur dalam republik ini. Ia didirikan bukan untuk mengabdi pada presiden, bukan untuk menyenangkan kekuasaan, melainkan menjadi pengawal terakhir dari ruh konstitusi: keadilan, keterbukaan, dan supremasi hukum.
Namun publik terkejut, bahkan sebagian mulai muak, ketika satu putusan konstitusional lahir tanpa jejak prosedur. Tanpa sidang pembuktian. Tanpa pembacaan saksi. Tanpa permohonan yang sah. Tapi hasilnya,anehnya, final dan mengikat.
Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 seperti ditulis diam-diam. Putusan ini mengubah syarat usia minimum calon presiden dan wakil presiden: memberi celah bagi “pejabat daerah hasil pemilu” untuk mencalonkan diri, bahkan bila usianya belum genap 40 tahun. Celah itu menjadi pintu bagi keponakan kekuasaan: Gibran Rakabuming Raka.
Permohonan yang berubah di tengah jalan. Dokumen yang ditandatangani kuasa hukum tanpa sepengetahuan pemohon. Agenda sidang yang melompati prosedur. Mahkamah menyulap pengujian konstitusi menjadi praktik tukar-menukar pasal demi satu nama. Ini bukan sekadar kecacatan hukum. Ini amputasi terhadap akal sehat konstitusi.
Dalam demokrasi manapun, prosedur adalah rukun iman. Donald E. Lively, seorang pakar konstitusi Amerika, menyebut bahwa keabsahan pengadilan bukan ditentukan dari hasilnya, melainkan dari cara ia sampai ke hasil itu. Tanpa proses, putusan bisa sah secara administratif, tapi batal secara etis.
Mark Elliott dari Universitas Cambridge bahkan lebih lantang: “Finalitas tidak bisa menggantikan justifikasi.” Apa artinya keputusan yang tak bisa diganggu gugat, jika cara mencapainya tak bisa diterima nurani publik?
Putusan Mahkamah Konstitusi seharusnya tidak sekadar mengubah teks hukum. Ia adalah peristiwa kepercayaan. Tapi dalam Putusan 90, kita kehilangan kepercayaan. Ia disusun tanpa suara rakyat, tanpa ruang kritik, dan tanpa malu-malu mengangkangi proses.
Jeremy Waldron, dalam tulisannya yang kerap dikutip banyak konstitusionalis, memperingatkan bahaya judicial review yang tak terkendali. Hakim, katanya, bukan nabi. Mereka harus tunduk pada prosedur, pada argumentasi terbuka, pada forum yang adil. Tanpa itu, pengadilan bukan penjaga hukum, tapi alat tafsir kekuasaan.
András Sajó, mantan hakim HAM Eropa, mengibaratkan pengadilan konstitusi yang melompati prosedur sebagai “alat represi yang dibungkus jubah hukum”. Bila sebuah putusan dapat dibuat tanpa sidang, maka apa bedanya pengadilan dengan dewan keluarga istana?
Yang lebih gawat, Mahkamah ini seolah lupa bahwa Indonesia memiliki konstitusi yang hidup. Dalam istilah Gary J. Jacobsohn, setiap negara memiliki constitutional identity atau jiwa konstitusinya. Indonesia tidak dilahirkan dari skenario dinasti. Ia lahir dari penderitaan rakyat, dari tekad menolak pemusatan kuasa, dari mimpi akan keadilan sosial.
Maka ketika Mahkamah Konstitusi berubah fungsi, dari penjaga konstitusi menjadi jembatan politik, maka yang disabotase bukan hanya pasal,tapi nilai dasar kenegaraan. Kita tidak hanya melihat pelanggaran prosedur, tapi perusakan simbolik terhadap seluruh arsitektur demokrasi.
Mahkamah Konstitusi kini berdiri di persimpangan sejarah. Ia bisa memperbaiki dirinya, atau menjadi halaman gelap dalam buku sejarah republik. Karena sidang yang tidak diselenggarakan bukan hanya kekeliruan administratif. Itu adalah perampokan atas hak rakyat untuk tahu, untuk melihat, untuk menyaksikan kebenaran dipertarungkan.
Jika konstitusi bisa diubah tanpa proses, maka rakyat hanya penonton dalam demokrasi. Jika pengadilan tertinggi bisa membuat hukum di ruang gelap, maka pertanyaannya bukan lagi siapa yang berkuasa, tapi siapa yang berani melawan.
Dan kalau Mahkamah Konstitusi dapat membuat putusan tanpa sidang, siapa yang bisa mencegahnya menjadi pelayan dinasti?
Nasehat Untuk Gibran Rakabuming Raka
Di ujung segalanya, ada satu peringatan filosofis yang patut direnungkan oleh mereka yang merasa telah “menang” lewat jalur konstitusi yang dipertanyakan. David Hume pernah menyindir dengan tajam: “Is does not imply Ought.” Kenyataan bahwa sesuatu telah terjadi bukan berarti seharusnya terjadi. Anda boleh jadi telah ditetapkan sebagai calon resmi bahkan menang, tapi bukan berarti Anda pantas diterima oleh rakyat.
Hans Kelsen, sang arsitek positivisme hukum, memang memisahkan norma dari moral. Tapi bahkan Kelsen mengakui bahwa legalitas yang kosong dari keadilan hanya akan mempercepat keruntuhan norma. Dalam versi moral yang lebih ketat, Immanuel Kant mengingatkan bahwa hukum bukan sekadar aturan yang ditaati, melainkan prinsip yang harus dapat diuniversalisasi secara rasional dan etis. Hukum yang dijalankan dengan akal licik, hanya akan melahirkan penolakan moral.
H.L.A. Hart, dengan kerangka analitisnya yang tajam, membedakan antara hukum yang legal valid dan hukum yang legitimate. Sesuatu bisa saja “legal” sesuai dengan prosedur dalam sistem hukum positif, namun tak pernah sah dalam hati nurani publik. Inilah yang kini membayangi Gibran Rakabuming Raka.
JĂĽrgen Habermas, dalam bukunya Between Facts and Norms (1999), menegaskan bahwa legitimasi demokrasi hanya dapat lahir dari partisipasi publik yang rasional dalam ruang diskursus yang terbuka. Hukum yang dibuat tanpa komunikasi publik, apalagi tanpa proses deliberatif, hanyalah bentuk kekuasaan yang menyamar sebagai norma. Ketika hukum berhenti melibatkan rakyat sebagai subjek deliberasi, maka hukum itu tak lebih dari alat dominasi.
Gibran, dalam hal ini, boleh jadi sah secara administratif, tapi cacat dalam komunikasi demokrasi. Ia muncul bukan dari perdebatan publik yang sehat, melainkan dari celah prosedur yang tertutup. Maka legitimasi Anda rapuh. Dan setiap langkah politik ke depan akan menanggung beban krisis kepercayaan yang tidak selesai.
Bila Wapres terus melangkah tanpa koreksi, tanpa refleksi, tanpa kepekaan terhadap rasa keadilan publik, maka bukan hanya nama Wapres yang ditolak, tapi seluruh proses demokrasi bisa runtuh bersama.
Kekuasaan yang dibangun tanpa legitimasi, hanya akan menjadi api kecil yang membakar republik dari dalam. ***
Artikel Terkait
WADUH! Dibongkar Ilmuwan Politik, Gibran Pernah Ikut Latihan Pidato 2 Tahun Tapi Hasil Nihil: ZONK
ANEH! Bareskrim Sebut Jokowi KKN Tahun 1983, Sekarang Jokowi Ngaku KKN Tahun 1985: Siapa Yang Bohong?
Suasana Mencekam Tel Aviv saat Dihujani Rudal Iran, Warga Israel: Ledakan Besar, Semua Berguncang
Iran Gempur Balik Israel, Bandara Tel Aviv Lumpuh Total, Maskapai Kabur Evakuasi Pesawat