GELORA.ME - Keputusan pemerintah melalui Menteri dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian mengalihkan status empat pulau di Kabupaten Aceh Singkil, Aceh, menjadi wilayah administrasi Sumatera Utara (Sumut) ditengarai akan membuka luka lama.
Sejumlah legislator asal Aceh bereaksi keras terhadap putusan itu.
Mereka menolak klaim empat pulau tersebut bagian dari Sumut dan mengingatkan pemerintah pusat tak membuat luka baru bagi masyarakat Aceh.
"Jangan buat persoalan baru di Aceh lagi, persoalan lama juga masih. Jadi itu dimarginalkan. Jangan tumbuh lagi persoalan baru. Pulaunya dicaplok empat pulau, bukan main-main," kata anggota DPR asal Aceh, Muslim Ayub, saat dihubungi, Rabu (11/6).
Aceh memiliki sejarah perlawanan bersenjata terhadap pemerintah RI lewat Gerakan Aceh Merdeka (GAM) sejak 1976.
Gerakan perlawanan itu dipicu sejumlah aspek mulai dari eksploitasi sumber daya alam hingga marginalisasi politik.
Ketegangan antara dua pihak baru mereda pada 2005 lewat perjanjian Helsinki bersamaan dengan momentum Tsunami.
Hasilnya, Aceh diberi status otonomi khusus, hak membentuk partai lokal, dan kontrol lebih besar atas sumber daya alamnya.
Muslim mengingatkan agar Mendagri Tito tak mengambil langkah gegabah.
Dia khawatir keputusan itu bisa memicu ketegangan masyarakat Aceh, apalagi di waktu yang bersamaan tengah terjadi polemik Tambang Raja Ampat, Papua Barat Daya.
Dia tak ingin keputusan Tito yang mengalihkan empat pulau ke wilayah Sumut, justru membuat masyarakat semakin marah.
"Jadi sumbangsih Aceh terhadap Indonesia ini sudah terlalu besar. Jangan disakiti lagi. Pak Tito jangan gegabah," katanya.
Keputusan Mendagri itu tertuang dalam surat Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 tentang Pemberian dan Pemutakhiran Kode serta Data Wilayah Administrasi Pemerintahan dan Pulau.
Lewat surat itu, sebanyak empat pulau, masing-masing Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Gadang (Besar), Pulau Mangkir Ketek (Kecil) kini di bawah administrasi Pemprov Sumut.
Perbedaan Perspektif
Guru besar sosiologi dari Universitas Syah Kuala, Humam Hamid melihat dua perspektif yang berbeda dalam sengketa empat pulau.
Pertama, perspektif kartografi dari pemerintah yang melihat Pulau Panjang hingga Pulau Mangkir berada di wilayah Sumut.
Kedua, perspektif imaji kebangsaan yang melihat empat pulau tersebut selama ini telah menjadi wilayah Provinsi Aceh.
Oleh karena itu, Humam melihat keputusan Mendagri akan sangat sentimentil bagi masyarakat Aceh.
Dia melihat keputusan Mendagri tak bisa hanya didasarkan pada perspektif kartografi wilayah.
Menurut Humam, keputusan itu sama dengan menghadapkan urusan peta bumi dengan kondisi psikologi dan sosiologis masyarakat Aceh.
"Jadi ini mental Belanda, mental kolonial ini Pak Tito ini. Jadi menarik garis batas fisik dan ini berbahaya," kata Humam saat dihubungi, Kamis (12/6).
Sementara, Tito menjelaskan batas darat antara Kabupaten Aceh Singkil dan Kabupaten Tapanuli Tengah sudah diteliti oleh Badan Informasi Geospasial (BIG), TNI Angkatan Laut, dan Topografi Angkatan Darat.
Hasilnya, pemerintah pusat memutuskan bahwa empat pulau tersebut berada dalam wilayah Sumatera Utara.
Meski begitu, Tito mengakui belum ada titik temu di antara kedua pihak. Sehingga, kewenangan pengambilan keputusan diserahkan kepada pemerintah pusat.
"Kami memahami kalau ada pihak yang tidak puas. Tapi kami terbuka terhadap evaluasi atau gugatan hukum, termasuk ke PTUN. Silakan saja," katanya di kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (10/6).
Humam mengingatkan Tito agar tak memicu masalah yang tidak perlu di tengah tantangan global lewat keputusan itu.
Namun, Humam meminta Mendagri memahami Aceh sebagai wilayah bekas konflik dan karenanya pemerintah juga perlu berkonsultasi dengan mantan Presiden SBY maupun Wapres Jusuf Kalla sebagai tokoh yang membebaskan Aceh dan RI dari ketegangan.
Menurut Humam, masyarakat Aceh selama ini telah banyak berkontribusi terhadap pemerintah pusat.
Namun, keputusan peralihan empat pulau di Aceh Singkil bisa memicu luka lama.
"Ini betul-betul mental pejabat pamong praja Belanda seperti ini. Enggak mau tahu dengan imajinasi kebangsaan," katanya.
Human menilai keputusan peralihan empat pulau merupakan persoalan sensitif.
Dia menilai Presiden Prabowo Subianto perlu turun tangan dengan mengkaji ulang keputusan Mendagri Tito.
Dia meyakini Prabowo sebagai sosok tepat untuk mengambil jalan tengah dari masalah tersebut.
Menurut Humam, Prabowo juga memiliki hubungan yang baik dengan Gubernur Aceh Muzakir Manaf sehingga bisa menang dua kali dalam Pilpres di wilayah tersebut.
"Jadi dia tahu betul isi hati Mualim itu (gubernur). Seharusnya Tito ngerti, harusnya ngerti itu," kata Humam.
Dikembalikan ke Aceh
Pengamat kebijakan publik, Trubus Rahadiansyah, menyarankan agar pemerintah sebaiknya mengembalikan status empat pulau itu ke Aceh.
Menurut dia, langkah itu perlu itu untuk meredam potensi ketegangan antara Aceh dan pemerintah pusat.
Terlebih, Sumut menurut Trubus juga belum memahami kondisi sosiologis wilayah tersebut.
Dia mengamini sengketa pulau itu bisa memicu konflik baru antara pemerintah pusat dan masyarakat Aceh.
Di sisi lain, Trubus juga mengkritik sikap Kemendagri yang mempersilakan masalah tersebut ke meja hijau.
Menurut dia, pernyataan Tito itu bisa menyulut ketegangan karena terkesan arogan.
"Ini bisa makin memanas. Karena itu ada kesan arogansi. Jadi menurut saya sesuatu yang mudah diselesaikan bersama asal mau duduk bersama," kata Trubus, Jumat (13/6).
Sementara, Wakil Ketua Komisi II DPR, Dede Yusuf meminta pemerintah agar sengketa pulau itu harus diselesaikan secara dingin terutama menyusul penolakan atas putusan Tito. Menurut Dede, pemerintah perlu membentuk tim verifikasi bersama.
Nantinya, kata Dede, tim verifikasi itu harus terdiri dari kedua pihak, termasuk melibatkan pemerintah provinsi Sumut, maupun tokoh masyarakat lokal.
Dede juga mengusulkan pengelolaan bersama antara dua pihak terhadap empat pulau.
Menurut Dede, pemerintah tak boleh mengeluarkan keputusan apapun, terlebih soal eksplorasi sumber daya alam, hingga ada keputusan bersama.
"Nah, setelah tim verifikasi bertugas, maka Kemendagri bisa menerbitkan SK baru atau revisi. Yang paling penting dibuka dialog dengan masyarakat lokal sehingga yang diperlu dihindari adalah pendekatan elitis," kata Dede, Jumat (13/6).
Sementara itu, Gubernur Sumatera Utara Bobby Afif Nasution menegaskan polemik mengenai status kepemilikan pulau di wilayah perbatasan antara Sumatera Utara dan Aceh sebaiknya diselesaikan langsung bersama pemerintah pusat, dalam hal ini Kemendagri.
"Saya dari awal kemarin ke Aceh, bertemu dengan Gubernur Aceh (Muzakir Manaf). Kami ingin sampaikan bahwa untuk masalah kepemilikan pulau, mohon maaf, mau kita bahas dari pagi sampai pagi pun sebenarnya tidak akan ada solusinya," ujar Bobby kepada wartawan di Medan, Kamis (12/6).
Menurut Bobby, Pemprov Sumut membuka diri apabila harus membahas ulang.
Sebab, pembahasan yang dilakukan di daerah tidak akan menyelesaikan persoalan karena keputusan tetap berada di tangan pemerintah pusat.
"Kalau mau dibahas, ayo sama-sama. Kami terbuka. Tapi kalau soal keputusan, biarlah menjadi kewenangan pemerintah pusat. Jangan kita bahas dengan pihak yang tidak bisa memutuskan," ujar Bobby.
Bobby juga meluruskan kunjungannya ke Aceh bukan untuk mengajak kerja sama dalam pengelolaan pulau, melainkan untuk membuka ruang diskusi lebih lanjut.
Sumber: CNN
Artikel Terkait
Keajaiban Kursi Nomor 11A: Dua Orang Selamat dari Kecelakaan Berbeda, Air India 171 dan Thai Aiways TG261
Jin Pendamping Disebut-sebut Bikin Wajah Manusia jadi Menghitam, Ini Penjelasan Pakar Ruqyah
Ferdinand PDIP Nilai Jokowi Seharusnya Jadi Napi, Bukan Dianggap Nabi
Baca UU Diteken Sukarno, JK Sebut 4 Pulau yang ‘Dipindah Tangan’ ke Sumut Secara Sejarah Milik Aceh