Ciri Kenabian dan Seseorang Yang Terlalu Biasa Saja Bahkan di Bawah Rata-Rata

- Kamis, 12 Juni 2025 | 23:05 WIB
Ciri Kenabian dan Seseorang Yang Terlalu Biasa Saja Bahkan di Bawah Rata-Rata


'Ciri Kenabian dan Seseorang Yang Terlalu Biasa Saja Bahkan di Bawah Rata-Rata'


Oleh: Ali Syarief

Akademisi


Dalam akhlak kenabian, dikenal empat sifat utama: shidiq, amanah, fathonah, dan tabligh. 


Empat pondasi karakter ini bukan semata monopoli para nabi, tapi juga menjadi tolok ukur pemimpin yang layak diteladani. 


Sayangnya, di republik ini, kita justru dikaruniai seseorang yang terlampau jauh dari semua itu.


Shidiq — jujur. Seseorang yang jujur tidak akan membiarkan publik tenggelam dalam kebingungan soal ijazahnya sendiri. 


Di ruang-ruang pengadilan, saksi-saksi akademik dipanggil, dokumen direka, dan jaksa seolah kesulitan membedakan antara bukti dan sandiwara. 


Presiden kita mungkin orang pertama dalam sejarah republik yang ijazahnya lebih banyak dibela oleh buzzer ketimbang oleh almamaternya. 


Sulit berkata jujur jika fondasi keabsahan sudah dibangun di atas tanya yang tak pernah dijawab.


Fathonah — cerdas. Kecerdasan tak hanya soal gelar, tapi kemampuan membaca dan memahami zaman. 


Tapi di tangan sang pemimpin, buku-buku hanya jadi hiasan etalase. Ia sendiri pernah berkata, “Saya memang tidak suka membaca.” 


Ketidaksukaan ini menjelma jadi kebijakan-kebijakan setengah paham: dari pembangunan yang hanya berbasis infrastruktur, hingga ketidakmampuan membaca situasi geopolitik. 


Pemimpin yang malas membaca adalah risiko nasional. Ia bukan hanya gagal memahami rakyatnya, tapi juga gagal memahami masa depan.


Amanah — dapat dipercaya. Dalam pengertian Jokowi, amanah tampaknya berarti: “Anak saya, menantu saya, dan semua loyalis saya harus punya jabatan.” 


Wewenang yang diberikan oleh rakyat digunakan untuk mengukuhkan dinasti. Dari Solo, Medan, Jakarta, hingga Nusantara — peta kekuasaan berubah menjadi silsilah keluarga. 


Konstitusi dilipat-lipat seperti lembaran kliping. Lembaga negara disulap jadi panggung karir keluarga. Ini bukan amanah. Ini persekongkolan warisan.


Tabligh — menyampaikan. Tapi apa yang hendak disampaikan jika satu kalimat utuh saja ia kesulitan ucapkan? 


Ketika negara dilanda kegelisahan, sang pemimpin hadir dengan diam — atau jika bicara, suaranya seperti catatan kaki yang gagal menjelaskan apa pun. 


Ia tak pernah punya narasi yang mencerahkan. Tak ada imajinasi kebangsaan, apalagi kalimat-kalimat yang mendidik. 


Ia hanya bicara untuk mengisi kekosongan — dan setiap kata yang meluncur seperti formalitas yang tak pernah menyentuh akal sehat rakyat.


Kita tak sedang menuntut pemimpin menjadi nabi. Tapi bahkan sebagai manusia biasa, ada harapan tentang kejujuran, kecerdasan, integritas, dan kemampuan berkomunikasi. 


Pemimpin ideal adalah mereka yang berusaha menyentuh sifat kenabian, bukan justru memunggunginya demi warisan kekuasaan.


Sayangnya, ia terlalu biasa — bahkan mungkin di bawah rata-rata. Ia tak shidiq, karena jujurnya masih hilang di pengadilan. 


Ia tak fathonah, karena tak suka membaca. Ia tak amanah, karena kekuasaan ditukar dengan kekeluargaan. 


Ia pun tak tabligh, karena suara kepemimpinannya tenggelam oleh kata-kata yang tak pernah mampu mengedukasi siapa pun.


Ia bukan nabi, tentu saja. Tapi ia pun gagal menjadi pemimpin yang sekadar bisa dipercaya.


Mengkultuskan Jokowi sebagai Nabi: Membakar Dupa di Atas Jerami Kering!


Kultus individu, sebagaimana kata Hannah Arendt, adalah jalan pintas menuju kehancuran politik. 


Ketika seorang pemimpin mulai dikemas laksana nabi oleh para pengikutnya, ia bukan hanya kehilangan pijakan nalar, tetapi juga sedang diarahkan menuju altar penghakiman. 


Jika yang melakukannya adalah kader Partai Solidaritas Indonesia (PSI)—partai anak muda yang konon menjunjung rasionalitas dan meritokrasi—maka itu bukan sekadar ironi, melainkan semacam sabotase diam-diam. 


Dalam bahasa yang lebih tajam: mereka sedang memancang Jokowi di satu tempat, menyiapkan dirinya untuk dirajam ramai-ramai.


Pujian berlebihan bisa menjadi hukuman yang paling kejam. Saat PSI atau siapa pun mulai mengidentikkan Jokowi dengan figur kenabian, maka publik justru akan menuntut standar moral dan kesucian yang sama. 


Dan publik tahu, Jokowi bukan nabi. Ia adalah manusia biasa yang kini tengah dibelit banyak perkara. 


Mulai dari tuduhan ijazah palsu yang tak kunjung padam, hingga skandal tambang nikel yang disebut-sebut digadaikan murah ke perusahaan-perusahaan Cina.


Belum cukup, bayang-bayang pemakzulan atas putranya, Gibran Rakabuming Raka, juga terus bergelayut. 


Masih lekat dalam ingatan bagaimana Mahkamah Konstitusi dijadikan tangga oleh sang anak, dan kini sedang ditarik ke bawah oleh gelombang protes moral yang tak surut.


Dalam politik, semua bisa berubah dalam sekejap. Popularitas bisa menjadi kutukan. Hari ini dielu-elukan, esok bisa jadi bahan bakar amarah massa. 


Ini ibarat bola panas yang tak bisa diprediksi jalurnya. Ketika terlalu banyak tangan ikut mengarahkan arah pantulan bola itu, maka benturan dan luka menjadi keniscayaan.


Jokowi, dalam banyak hal, telah berhasil menempatkan dirinya sebagai pemimpin yang punya daya magis di mata rakyat. Tetapi politik tidak bekerja dengan sihir. Ia bekerja dengan realitas.


Dan realitas hari ini menunjukkan bahwa beban di pundak Jokowi semakin berat. Ia tak hanya menanggung masa lalunya, tapi juga masa depan dinastinya.


PSI seharusnya tahu diri. Mengelu-elukan Jokowi bukan hanya mengabaikan etika politik, tapi juga mengkhianati akal sehat publik. 


Rakyat butuh pemimpin yang bisa dikritik, bukan yang dikultuskan. 


Karena dari pemujaan yang berlebihan, hanya ada dua kemungkinan: jatuh yang menyakitkan atau kemarahan yang membabi buta.


Dan kasihan Jokowi, jika akhirnya ia jatuh bukan karena lawan politiknya, tapi oleh para pengagumnya sendiri. ***


Sumber: FusilatNews

Komentar