MIRIS! Warisan Era Jokowi: 'Utang Membengkak - Rakyat Miskin Meningkat'
Oleh: Ali Syarief
Akademisi
Pembangunan di era Presiden Joko Widodo terasa begitu masif.
Jalan tol membentang, bendungan dibangun, dan bandara bersolek dengan arsitektur futuristik.
Namun di balik semua kemegahan itu, ada realitas muram yang terungkap dari laporan terbaru Bank Dunia: 194,6 juta warga Indonesia—atau hampir 7 dari 10 penduduk—masuk kategori miskin. Bukan oleh definisi lokal, tapi oleh standar global.
Bank Dunia baru saja memperbarui metode pengukuran kemiskinan dengan menggunakan data Purchasing Power Parity (PPP) tahun 2021. Hasilnya mengejutkan, sekaligus memalukan.
Jika sebelumnya ambang batas kemiskinan untuk negara menengah seperti Indonesia adalah 6,85 dolar AS per hari, kini naik menjadi 8,30 dolar AS per hari.
Dengan standar ini, mayoritas rakyat Indonesia ternyata tak mampu memenuhi kebutuhan hidup paling dasar.
Pemerintah, melalui Badan Pusat Statistik (BPS), buru-buru menjaga narasi.
Mereka tetap bersandar pada metode lama: pendekatan kebutuhan dasar (Cost of Basic Needs). Menurut mereka, jumlah orang miskin hanya 24 juta jiwa.
Angka ini tampak indah di atas kertas, apalagi ketika dibandingkan dengan utang yang terus menumpuk dan proyek-proyek infrastruktur yang terus digenjot.
Narasi Palsu Kemajuan
Sejak awal menjabat, Jokowi menempatkan pembangunan fisik sebagai poros utama kekuasaannya.
Dari tol Trans-Jawa hingga megaproyek Ibu Kota Nusantara (IKN), pembangunan dijadikan etalase prestasi. Namun prestasi itu harus dibayar mahal.
Utang pemerintah meroket dari Rp 2.600 triliun pada akhir 2014 menjadi lebih dari Rp 8.000 triliun pada pertengahan 2025.
Pembangunan fisik yang diagungkan nyatanya tak menyentuh akar masalah rakyat: daya beli yang lemah, harga bahan pokok yang tak terkendali, dan akses kesehatan serta pendidikan yang timpang.
Proyek-proyek bernilai triliunan rupiah itu tidak otomatis mengangkat martabat warga yang hidup di bawah garis kemiskinan global.
Jalan tol tak bisa dimakan. Bandara baru tak menurunkan harga beras. Dan istana di Kalimantan tak menyelesaikan persoalan pengangguran di kota-kota besar.
Pemerintah selalu berdalih bahwa pembangunan akan berdampak jangka panjang. Tapi rakyat butuh makan hari ini.
Butuh pekerjaan yang layak, bukan sekadar lapangan kerja semu dari proyek padat karya. Jika pembangunan tidak mengangkat kesejahteraan, lalu untuk siapa semua ini dibangun?
Ilusi Pertumbuhan, Nyata Kemiskinan
Pertumbuhan ekonomi Indonesia memang masih berada di kisaran 5 persen. Tapi pertumbuhan itu tak inklusif.
Ia hanya memperkaya segelintir elite yang punya akses ke kekuasaan dan proyek. Ketimpangan tetap tinggi.
Distribusi aset dan peluang masih timpang. Maka ketika Bank Dunia membuka data kemiskinan berdasarkan standar global, tirai optimisme yang selama ini dijaga rapat-rapat langsung tersingkap.
Indonesia miskin secara struktural. Bukan sekadar kekurangan uang, tapi kekurangan visi.
Pemerintah lebih memilih mengukur kemajuan lewat jumlah proyek, bukan kualitas hidup rakyat.
Ketika anak-anak kekurangan gizi di NTT, pemerintah meresmikan Istana Negara baru.
Ketika petani menjerit karena harga gabah anjlok, pemerintah sibuk mengundang investor ke IKN.
Wajah Buram Republik
Esai ini bukan ajakan untuk menolak pembangunan. Tapi mari kita bicara kejujuran.
Jika utang dibuat untuk membangun, maka ukuran keberhasilannya bukan tinggi menara atau panjang jalan tol.
Ukurannya sederhana: apakah rakyat bisa hidup lebih baik?
Hari ini, jawabannya: tidak. Utang bertumpuk, tapi kemiskinan makin dalam. Pembangunan masif, tapi keadilan sosial kian jauh.
Jokowi membangun banyak hal, tapi tak membangun kesejahteraan. Ia membangun jalan, tapi tak memberi arah.
Dan kelak, sejarah akan mencatat: Indonesia pernah dipimpin oleh seseorang yang sangat percaya pada beton, tapi melupakan perut. ***
Sumber: FusilatNews
Artikel Terkait
Lepas dari Jokowi, Semua Happy
Pemuda Jadi Korban Salah Tangkap Anggota Polres Cianjur. Kondisi Badan Penuh Luka dan Babak Belur
Politikus PSI: Jokowi Punya Syarat Jadi Seorang Nabi
Tabir Asap Raja Ampat, Hendrajit Ingatkan Publik tak Terjebak Tudingan Asing tanpa Lihat Historis secara Utuh