Kuda Mati Bernama Ijazah: 'Membaca Sikap Jokowi Dari Teori Dead Horse'
Oleh: Ali Syarief
Akademisi
Pendahuluan
Di antara hiruk-pikuk pencitraan, pembangunan fisik, dan jargon nasionalisme, terselip satu pertanyaan sederhana yang tak kunjung dijawab dengan tuntas oleh Joko Widodo: di manakah ijazah asli Anda, Pak?
Pertanyaan ini, yang muncul dari ruang publik dan terus menggema selama masa kepemimpinannya, tak pernah dijawab secara terang, jujur, dan terbuka.
Alih-alih menunjukkan bukti, negara justru memilih jalan yang aneh: membungkam pertanyaan, menggiring opini, dan menciptakan ilusi jawaban.
Fenomena ini secara terang benderang menggambarkan apa yang dikenal sebagai Dead Horse Theory—teori kuda mati.
Teori Kuda Mati: Cermin Penyangkalan Kolektif
Teori Kuda Mati adalah sebuah metafora satir yang menggambarkan bagaimana orang atau lembaga menghadapi kenyataan yang tak terelakkan dengan cara yang tidak logis dan kerap konyol.
Jika seseorang sadar bahwa ia sedang menunggangi seekor kuda yang sudah mati, langkah paling waras adalah turun dan mencari solusi baru.
Namun kenyataannya, banyak orang malah memilih untuk membeli pelana baru, mengganti joki, memberi makan kuda mati, atau bahkan membentuk komite khusus yang bertugas meneliti kematian sang kuda.
Dalam konteks ini, ijazah Jokowi adalah “kuda mati” yang dibiarkan membusuk di tengah panggung republik, namun tetap ditunggangi dengan penuh keyakinan dan sorak-sorai pendukung.
Dan negara, alih-alih turun dan mengakui kenyataan, justru semakin tenggelam dalam absurditas politik.
Menolak Kebenaran, Menunggang Kebohongan
Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa dalam era digital dan transparansi, keabsahan dokumen publik milik seorang pemimpin adalah hal yang fundamental.
Namun pertanyaan tentang ijazah asli Jokowi, terutama ijazah sarjananya dari Universitas Gadjah Mada, justru dijawab dengan keheningan dan intimidasi.
Permintaan bukti otentik dianggap serangan pribadi. Mereka yang bertanya justru dikriminalisasi.
Bambang Tri, misalnya, dipenjara. Ini sama saja dengan memecat pelatih kuda karena dituduh tak bisa membuat kuda mati berlari.
Sikap ini memperlihatkan pola pikir khas penguasa yang sedang menunggangi kuda mati: ketika kenyataan tak sesuai dengan narasi, kenyataanlah yang disalahkan.
Jokowi dan para pembelanya memilih untuk tetap bertahan di atas kebohongan, berharap publik akan lelah bertanya, atau bahkan mulai meyakini bahwa bangkai itu sebenarnya masih bernyawa.
Birokrasi Absurd, Institusi Tak Bernyali
Apa yang terjadi setelah itu tak kalah ironis. Lembaga-lembaga negara ikut larut dalam permainan ini.
UGM tidak secara terbuka menunjukkan dokumen otentik yang bisa mematahkan keraguan. KPU dan Bawaslu menghindari substansi dan fokus pada prosedur.
Mahkamah pun menjauh dari debat. Media arus utama hanya sesekali menyinggung, lalu segera melupakannya, seolah takut reputasi kekuasaan bisa menular jadi aib.
Pemerintah seolah membeli pelana baru untuk kuda mati itu, bahkan memamerkannya dalam acara seremonial.
Para juru bicara berbicara tentang etika, kesantunan, dan konspirasi—namun tetap tidak memperlihatkan bukti.
Sebuah tim investigasi imajiner seakan sedang bekerja, padahal semua orang tahu, tidak ada yang sedang diselidiki selain publik yang mulai berpikir.
Menolak Turun adalah Awal dari Keruntuhan
Kekuasaan yang terlalu lama berdiri di atas ketakutan akan kejujuran adalah kekuasaan yang perlahan membusuk dari dalam.
Ketika seorang pemimpin tidak berani membuka masa lalunya, maka apapun kebijakan dan pencapaiannya menjadi rapuh.
Kredibilitas publik tidak dibangun di atas popularitas, tapi pada integritas. Dan integritas dimulai dari hal-hal paling mendasar—seperti kejujuran tentang ijazah.
Mengubah definisi “mati” agar kuda terlihat masih hidup adalah tindakan licik, bukan cerdas.
Dan membungkam orang-orang yang bertanya bukanlah tindakan kepemimpinan, tapi bentuk pengkhianatan terhadap demokrasi.
Penutup
Seorang pemimpin bukan hanya dituntut untuk membangun jalan, jembatan, atau gedung pencakar langit.
Ia dituntut untuk membangun kepercayaan. Dan kepercayaan itu tidak dibangun melalui pencitraan, tetapi melalui kejujuran.
Ketika Joko Widodo menolak menunjukkan ijazah aslinya, maka yang ia pertahankan bukan kehormatan, melainkan kebohongan.
Dan bangsa ini, tanpa sadar, sedang diajak untuk terus menunggangi seekor kuda yang sudah mati. Sudah saatnya kita turun. Sudah saatnya kita katakan: cukup.
Ini adalah cermin. Jika Anda tidak menyukai bayangannya, jangan pecahkan cerminnya—ubahlah wajahnya. ***
Sumber: FusilatNews
Artikel Terkait
Bukan Pengaruh Ilmu Dukun, Jokowi Dapat Alergi Kulit Akibat Cuaca Saat Pemakaman Paus di Vatikan
Sosok Theresia Meila Yunita, Pramugari yang Diduga Selingkuhan Eks Dirut PT Taspen: 3 Bidang Tanah Atas Namanya di Tangerang
Usai Dikalahkan Timnas Indonesia, Luapan Amarah Netizen China Bikin Ngakak: Pulang Saja Tanam Kentang
Jimly Asshiddiqie Prediksi Prabowo Bakal Lindungi Gibran dari Upaya Pemakzulan