Menyoal Keaslian Ijazah Joko Widodo: 'Perspektif Hukum Acara Pidana'
Oleh: Arvid Saktyo
Advokat, Sekjen AAB (Aliansi Anak Bangsa) & Wakil Sekjen TPUA (Tim Pembela Ulama dan Aktivis)
Kasus dugaan ijazah palsu Presiden Joko Widodo, yang telah dinyatakan asli oleh Bareskrim Polri, hingga kini masih menyisakan polemik di tengah masyarakat.
Isu ini tidak hanya menjadi perhatian publik secara luas, tetapi juga memicu diskusi serius di kalangan praktisi dan ahli hukum.
Seperti diketahui, kasus ini bermula dari laporan pengaduan masyarakat (Dumas) yang diajukan oleh Tim Pembela Ulama dan Aktivis (TPUA), yang kemudian diproses oleh Bareskrim Polri.
Meskipun hasil penyelidikan menyatakan bahwa dokumen ijazah tersebut adalah asli, pertanyaan dan keraguan dari berbagai kalangan tetap mengemuka.
Polemik ini wajar muncul jika dilihat dari sudut pandang hukum acara pidana.
Pasal-pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menegaskan bahwa tujuan utama dari proses hukum pidana adalah untuk menemukan kebenaran materil—yakni kebenaran yang sejati berdasarkan fakta-fakta yang tidak terbantahkan, bukan berdasarkan asumsi atau rekayasa.
Dalam konteks ini, patut dipertanyakan validitas hasil pemeriksaan Bareskrim Polri terhadap dokumen ijazah Joko Widodo.
Pertanyaan kunci yang perlu diajukan adalah: Apakah Bareskrim memeriksa dokumen asli ijazah atau hanya salinan (fotokopi) dari dokumen tersebut?
Pertanyaan ini penting, karena dalam proses penyelidikan—sebagaimana diatur dalam KUHAP—penyidik belum memiliki kewenangan untuk melakukan penyitaan terhadap barang bukti asli.
Oleh karena itu, sangat besar kemungkinan bahwa dokumen yang diperiksa oleh Laboratorium Forensik (Labfor) Bareskrim adalah berupa salinan fotokopi, bukan dokumen asli.
Jika benar bahwa yang diperiksa adalah salinan fotokopi, maka hasil pemeriksaan tersebut tidak dapat dijadikan dasar untuk menyimpulkan adanya kebenaran materil.
Pasal 184 KUHAP menegaskan bahwa alat bukti dalam perkara pidana harus memenuhi syarat tertentu agar dapat diterima dan memiliki kekuatan pembuktian di hadapan hukum.
Dokumen fotokopi, tanpa disertai pembuktian otentik terhadap dokumen aslinya, tidak dapat memenuhi standar tersebut.
Dengan demikian, hasil pemeriksaan Bareskrim yang menyatakan keaslian dokumen ijazah Jokowi dapat dikatakan prematur, tidak mengikat secara hukum, bahkan berpotensi bertentangan dengan asas-asas hukum acara pidana yang berlaku.
Dalam konteks ini, keputusan untuk menghentikan penyelidikan justru semakin menambah keraguan publik dan membuka ruang perdebatan yang lebih luas terkait integritas dan transparansi penegakan hukum di Indonesia.
Sebagai penutup, demi menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan di tengah masyarakat, seharusnya proses penyelidikan dilakukan secara menyeluruh, transparan, dan berdasarkan prinsip kebenaran materil.
Pemeriksaan terhadap dokumen otentik adalah mutlak diperlukan agar hasil penyelidikan benar-benar sah dan tidak menimbulkan polemik berkelanjutan.
Penegakan hukum yang bersih dan adil bukan hanya menjadi harapan, tetapi juga hak setiap warga negara. ***
Artikel Terkait
Dinilai Tegas dan Mendukung Pemberantasan Korupsi, 81% Publik Puas Kinerja Prabowo
Dengan Survei Indikator, Projo: Publik Yakin Ijazah Jokowi Asli
Polisi Buru Penganiaya Wanita Penumpang TransJakarta yang Diteriaki Teroris
Gus Miftah Bela Santri Terduga Penganiaya: Itu Bukan Disiksa, Tapi Spontan Kasih Sayang