Menara Gading Prabowo dan Bajak Sawah Gibran: 'Karakter Bangsa Yang Terekam Dalam Politik Populis'
Oleh: Ali Syarief
Akademisi
Prabowo Subianto tampaknya sedang sibuk mendaki tangga menuju menara gading kekuasaan.
Ia tampil memukau dalam berbagai forum dunia, berbicara lantang tentang masa depan Indonesia.
Di hadapan para intelektual, ia bicara soal geopolitik, ketahanan pangan, dan strategi pertahanan negara dengan narasi besar dan jargon yang menggetarkan.
Pidato-pidato itu terdengar membanggakan, menggambarkan seolah bangsa ini telah memilih sosok negarawan sejati sebagai presiden masa depan.
Tapi di bawah menara gading itu, ada sawah yang dibajak. Di sana, Gibran Rakabuming Raka sibuk membagikan susu gratis, buku anak, dan makan siang kepada siswa-siswa SD.
Ia hadir dalam bentuk paling sederhana dari politik: menyentuh langsung perut dan hati rakyat.
Ia tidak bicara soal multilateralisme atau doktrin militer. Ia bicara tentang “siapa yang hari ini belum sarapan.”
Dan rupanya, mayoritas rakyat Indonesia — yang bahkan tak menamatkan pendidikan sekolah menengah — lebih mengingat si pembagi nasi kotak daripada si penulis pidato strategis. Dalam catatan hati mereka, bukan Prabowo yang hidup, melainkan Gibran.
Mereka tidak punya referensi untuk mencerna politik luar negeri atau konsepsi pertahanan kawasan Indo-Pasifik.
Tapi mereka tahu siapa yang datang ke kampung mereka, siapa yang menjabat tangan mereka, dan siapa yang memberi mereka nasi saat lapar.
Ironi ini membuka luka lama bangsa ini: pendidikan yang rapuh, kesadaran politik yang dangkal, dan kecenderungan memilih berdasarkan perasaan, bukan pemikiran. Politik kita bukan lagi kontestasi gagasan, melainkan adu siapa yang paling “membumi”.
Dan dalam kontestasi itu, Gibran sedang memoles citra sebagai pemenang — meski dalam berbagai forum, ia masih disebut-sebut sebagai “si pandir”.
Tapi justru di situlah bahayanya. Jika 2029 kelak keduanya disandingkan sebagai calon presiden — Prabowo versus Gibran — maka bukan tidak mungkin rakyat akan memilih sosok yang mereka pahami dan mereka rasakan, bukan yang mereka kagumi dari kejauhan.
Di negeri di mana rasionalitas mudah dikalahkan oleh pendekatan populis, Gibran bisa saja menjadi manifestasi kemenangan dari politik yang sederhana namun penuh kalkulasi: berikan yang langsung dan kasatmata.
Prabowo bisa saja membangun reputasi sebagai pemikir besar, sebagai simbol keperkasaan Indonesia di panggung global.
Tapi bangsa ini, yang tercerai-berai oleh kemiskinan pendidikan dan terbiasa hidup dalam kebijakan tambal sulam, tak selalu punya waktu atau kemampuan untuk memahami narasi besar.
Rakyat lebih membutuhkan bansos daripada konsep blue economy. Mereka lebih ingin anaknya kenyang di sekolah daripada mendengar pidato tentang keamanan maritim.
Mereka tidak salah — mereka hanya belum sampai pada tahap bisa memilih berdasarkan visi.
Dan di situ, kegagalan pendidikan nasional selama puluhan tahun kembali menampakkan hasilnya: rakyat mudah terpikat pada sosok yang dekat, bukan yang hebat.
Jadi ketika kita bicara soal kekhawatiran, bukanlah pada Gibran secara personal letak risikonya, tetapi pada cerminan bangsa yang melihat politik sebagai hiburan atau kegiatan karitatif.
Jika tak segera dibenahi, sistem politik ini akan terus memproduksi pemimpin berdasarkan popularitas sesaat, bukan berdasarkan kualitas kebijakan jangka panjang.
Maka, pertanyaan penting untuk 2029 bukanlah siapa yang lebih hebat antara Prabowo dan Gibran, tetapi: apakah bangsa ini sudah cukup dewasa untuk memilih pemimpin berdasarkan akal, bukan sekadar rasa kenyang?
Jika belum, maka menara gading akan kembali runtuh — bukan karena serangan musuh, tapi karena rakyatnya sendiri yang tak pernah merasa terhubung dengan yang di puncak. ***
Sumber: FusilatNews
Artikel Terkait
Yakin Gugatan Ijazah Palsu Ditolak Hakim, Ini Alasan Silfester Matutina Pede Bela Jokowi
Link Video Syakirah Durasi 7 Menit Viral di Medsos Hingga 16 Bagian, Begini Biodata dan Fakta Dibaliknya
Terungkap! Ini Alasan Sebenarnya Jakarta Macet Parah saat Kunjungan Presiden Macron
Dituding Miliki Ijazah Palsu S2 dan S3 dari Universitas Yamaguchi, Rismon Sianipar Siap Melawan