100 Hari Trump: Tsunami Geopolitik dan Ekonomi Bagi Indonesia?

- Sabtu, 03 Mei 2025 | 08:35 WIB
100 Hari Trump: Tsunami Geopolitik dan Ekonomi Bagi Indonesia?


Dalam rangka merespons dinamika global yang berkembang pesat, Universitas Paramadina menyelenggarakan diskusi publik bertajuk “100 Hari Trump: Tsunami Geopolitik dan Ekonomi Bagi Indonesia?” Acara ini mengulas dampak kebijakan Presiden Donald Trump selama 100 hari pertama masa jabatannya di periode kedua terhadap kondisi global dan Indonesia, khususnya dari sisi ekonomi dan geopolitik diadakan secara online melalui zoom meeting pada Jumat (2/5/2025).

Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin menyoroti sampul The Economist baru-baru ini yang menggambarkan elang Amerika Serikat dalam keadaan babak belur, seolah mengeluh ‘masih 1.361 hari lagi’ sebuah simbol pesimisme global terhadap kebijakan Trump. Data terbaru menunjukkan bahwa ekonomi Amerika Serikat tumbuh negatif sebesar -0,3% pada kuartal pertama 2025, sementara JP Morgan memperkirakan potensi resesi mencapai 40%. Imbas kebijakan perdagangan juga terasa, dengan penurunan impor AS dari Tiongkok hingga 70–80%.

Lebih lanjut, indeks kepercayaan konsumen AS turun ke angka 86, di bawah ambang normal 100. Namun, alih-alih mengakui krisis, Trump justru masih dalam kondisi penyangkalan dan terus menyalahkan Joe Biden atas kegagalan ekonomi ini.

Menurut Wijayanto, ada dua temuan utama dalam gaya kepemimpinan Trump. Pertama, Trump memandang dunia sebagai panggung reality show, di mana semakin kontroversial suatu isu, semakin menarik bagi dirinya. Kedua, ia bersama tokoh seperti Elon Musk menunjukkan kekhawatiran besar terhadap potensi kebangkrutan fiskal AS, yang menjadi dasar kebijakan mereka.

“Selama 10 tahun terakhir, defisit anggaran AS berkisar antara 3,1% hingga 5,8% terhadap PDB. Kenaikan tarif impor yang digagas Trump diklaim untuk melindungi industri dalam negeri dan mengurangi beban fiskal, namun kalkulasi yang keliru justru memperparah keadaan. Perang dagang Trump bergerak dalam tiga dimensi: mempertahankan hegemoni AS, mengurangi defisit perdagangan, dan menekan defisit anggaran” tegas Wijayanto.

Bagi Indonesia, situasi ini berdampak langsung. Sekitar 45,4% dari surplus ekspor Indonesia berasal dari Amerika Serikat, menjadikan negeri ini sangat rentan terhadap gejolak ekonomi AS. Wijayanto menekankan pentingnya respons nasional yang terstruktur. Pemerintah, dalam keadaan darurat ini membentuk tiga satuan tugas sudah sangat baik yaitu satgas perundingan dagang, satgas perluasan kesempatan kerja, dan satgas deregulasi. “Kita membutuhkan deregulasi total, full-blown deregulation. Saatnya Indonesia bersaing eye to eye dan neck to neck dengan Vietnam, yang kini menjadi outlier dalam menarik investasi global secara mengesankan” tutur Wijayanto.

Ia juga menyoroti Country Complexity Index yang menunjukkan rendahnya kecanggihan produk ekspor Indonesia. Sebagian besar ekspor unggulan Indonesia masih berupa komoditas primer seperti batu bara, CPO, tembaga, nikel, minyak, dan gas. Sekitar 40% nilai ekspor Indonesia berasal dari produk-produk ini.

Untuk bisa bersaing, Indonesia perlu melakukan reformasi struktural mendalam, termasuk pemberantasan premanisme ekonomi, penyederhanaan perizinan, efisiensi sektor keuangan, penguatan TKDN dan FTA, insentif pajak, penanganan ekonomi bawah tanah, perbaikan sektor ketenagakerjaan, dan penurunan biaya logistik.

Diskusi ini menjadi pengingat bahwa gejolak global harus dihadapi dengan strategi nasional yang solid dan proaktif. Indonesia tidak bisa hanya bereaksi kita harus membentuk ulang kebijakan agar tetap relevan dan kompetitif di tengah ketidakpastian dunia.

Dinna Prapto Raharja, Pakar Hubungan Internasional/Synergy Policies, menyoroti bahwa dunia saat ini tengah limbung akibat kebijakan unilateral Trump. Dalam waktu singkat, Trump telah menandatangani 142 Executive Orders jumlah tertinggi sepanjang sejarah AS dalam 100 hari pemerintahan tanpa melalui debat legislatif. Kebijakan-kebijakan ini bukan hanya mengubah lanskap politik domestik AS, tetapi juga menciptakan gelombang guncangan internasional.

“Trump menarik AS keluar dari WHO dan Paris Agreement, memangkas besar-besaran anggaran USAID, dan menghentikan berbagai proyek bantuan luar negeri seperti perubahan iklim dan bantuan ke China. Ini adalah sinyal kuat kembalinya proteksionisme dan berakhirnya era kerja sama multilateral” ujar Dinna.

Menurutnya, sistem ketergantungan global yang dibangun sejak Perang Dunia II kini mulai dirombak secara sepihak oleh AS. Tatanan ekonomi internasional yang dahulu berpijak pada kerja sama dan trust kini digantikan oleh isolasionisme dan kompetisi.

Dampak langsung dari kebijakan Trump adalah kerusakan pada tatanan hubungan internasional yang selama ini menjadi landasan bagi politik luar negeri Indonesia yang bebas dan aktif. Indonesia kini menghadapi situasi darurat diplomasi akibat hilangnya prinsip win-win dalam hubungan antarnegara.

“Dalam kondisi ini, bahkan isu-isu strategis seperti pertahanan dan keamanan menjadi ajang perlombaan baru. Produk-produk strategis seperti drone, big data, dan luar angkasa kini dikuasai penuh dan tidak lagi dipertukarkan secara terbuka. Risiko *pre-emptive strike* pun meningkat, dan Indonesia harus mulai mewaspadai eskalasi senjata yang tidak terduga” tambahnya.

Tak hanya itu, Dinna juga menyoroti kerapuhan demokrasi di tengah naiknya politik transaksional. Isu-isu kemanusiaan seperti HAM, kesetaraan gender, disabilitas, dan lingkungan hidup terpinggirkan, seakan dapat dipisahkan dari agenda ekonomi dan politik. Padahal, martabat manusia adalah pilar utama dari stabilitas global.

Sementara itu, Andi Mallarangeng, Ph.D, Pengamat Politik AS, menambahkan bahwa kebijakan Trump tak hanya mengguncang dunia luar, tetapi juga menciptakan instabilitas di dalam negeri AS. Approval rating Trump anjlok tajam dalam 100 hari pertama, menjadi yang terburuk dalam 70 tahun sejarah polling AS. Inflasi melonjak akibat kelangkaan barang-barang murah dari China dan negara lain.

“Trade war yang digagas Trump justru membebani perusahaan-perusahaan AS dan konsumen langsung. Kenaikan harga barang impor membuat daya beli masyarakat menurun. Ini menjadi ironi besar dari slogan Trump - Make America Great Again” ujar Andi.

Menurutnya, upaya Trump untuk membalikkan arah globalisasi dan industrialisasi tidak sejalan dengan realitas ekonomi. Upaya substitusi impor tidak mudah dilakukan dalam waktu singkat, karena ketergantungan komponen luar negeri sangat besar. Sementara itu, tekanan menjelang midterm election 2026 akan menjadi ujian krusial terhadap legitimasi Trump.

Komentar