Oleh: Tony Rosyid
ADA pihak yang ingin menjatuhkan Jokowi. Tidak hanya ingin, tapi yakin Jokowi akan jatuh. Keyakinan ini telah menambah semangat kelompok ini untuk berupaya menjatuhkan Jokowi. Sebuah keyakinan berbasis analisis politik.
Keyakinan kedua, Jokowi dianggap sebagai pemimpin gagal. Rakyat semakin sengsara, maka menurut mereka Jokowi harus dijatuhkan.
Kelompok ini antusias mengungkap berbagai data dan memberi argumentasi yang sangat meyakinkan. Mulai dari soal masifnya korupsi, penegakan hukum yang bermasalah, nepotisme, otoritarianisme, dan seterusnya. Ini adalah keyakinan yang dibangun berbasis analisis moral. Menurut mereka, Jokowi tidak boleh berlanjut.
Keyakinan berbasis analisis politik dan keyakinan berbasis moral ini terus muncul. Sesuatu yang lumrah, normal, dan biasa terjadi di setiap rezim. Siapapun rezimnya. Tidak ada rezim yang bisa lepas dari lahirnya kelompok yang akan menjatuhkannya.
Kelompok ini lahir oleh dua kepentingan. Kepentingan pragmatis dan kepentingan idealis. Kepentingan pragmatis terdiri dari mereka yang ingin berkuasa. Hanya segelintir elite yang yang memanfaatkan kekecewaan rakyat untuk jatuhkan kekuasaan. Bagi mereka, tidak ada cara lain untuk berkuasa kecuali kudeta. Ganti penguasa lama dengan diri mereka.
Sebagian besar yang bergabung di kelompok ini adalah mereka yang punya kepentingan moral. Mereka takut negara semakin rusak. Karena itu, menurut mereka, presiden harus diganti.
Faktanya? Jokowi tidak jatuh. Setidaknya hingga hari ini. Prediksi saya, Jokowi tidak akan jatuh. Kecuali jika ada krisis ekonomi atau moneter. Soal ini harus melibatkan analisis geopolitik. Ekonomi global beberapa tahun belakangan ini memang memburuk, tapi masih bisa diatasi.
Tulisan ini tidak ingin bicara soal benar-salah. Sebab, benar-salah dalam politik seringkali bersifat subjektif. Benar-salah bergantung kepada siapa yang menang. Kalau Jokowi sukses dijatuhkan, maka yang akan dianggap benar itu kelompok yang menjatuhkan. Kalau Jokowi tidak bisa dijatuhkan dan tetap bertahan, maka yang dianggap benar itu Jokowi. Secara prinsip, pemenang akan mendapatkan banyak dukungan. Kue kekuasaan tetap menjadi magnet rebutan. Di sinilah dukungan itu berdatangan.
Bukan berarti upaya melakukan kudeta itu bebas nilai. Tidak. Pada akhirnya kebenaran objektif akan terungkap. Ini ke depan akan menjadi tugas sejarah untuk membongkar. Maksudnya, sejarahlah yang nanti akan membuka siapa yang benar dan siapa yang salah. Siapa pahlawan, siapa yang jadi pecundang. Butuh waktu bagi sejarah untuk membuktikan semua itu.
 
                         
                                 
                                             
                                             
                                             
                                                 
                                                 
                                                 
                                                 
                                                 
                                                
Artikel Terkait
Nvidia Investasi USD 1 Miliar di Poolside: Startup AI Ini Bakal Tembus Valuasi USD 12 Miliar
Pendapatan Premi Asuransi Properti Tembus Rp23 Triliun di 2025, Tumbuh 7.2%
Wapres Gibran Cek Kesehatan Gratis di Puskesmas, Ajak Masyarakat Ikuti Program CKG
Perampok dari Lampung Dihajar Massa Usai Gasak Perhiasan Nenek 75 Tahun di Brebes