Membegal Anies Itu Membegal Demokrasi

- Rabu, 14 Juni 2023 | 18:20 WIB
Membegal Anies Itu Membegal Demokrasi

Oleh: Ady Amar*


PENCAPRESAN Anies secara internal (KPP) sudah selesai, tapi belum selesai jika menilik upaya penjegalannya yang terus dilakukan bahkan sampai last minute semua kemungkinan menggagalkannya masih dimungkinkan.


KPP sedang dalam ujian. Muncul riak-riak kecil godaan, yang sebenarnya bisa disebut sekadar gimmick. Boleh juga jika itu cukup disikapi sewajarnya, ketika Ketua Umum Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), bersama beberapa nama lain masuk dalam radar bidikan PDIP untuk disandingkan dengan Ganjar Pranowo sebagai cawapres.


Padahal Demokrat telah mengikat Nota Kesepakatan bersama dua partai lainnya, Nasdem dan PKS dalam KPP, yang resmi mengusung Anies Baswedan sebagai capres. PDIP seakan cermat melihat Demokrat tengah galau di internalnya. Muncul suara menyuarakan kehendak agar secepatnya KPP mengumumkan siapa cawapres yang mendampingi Anies. Demokrat tentu menghendaki AHY yang diusung sebagai Cawapres. Tapi Nasdem lewat elitenya jelas-jelas menolak dengan mengatakan, kalau mau menang pada Pilpres 2024 bukan AHY yang mendampingi Anies. Setidaknya suara itu disuarakan Effendy Choirie, akrab dipanggil Gus Choi.


Mukernas III PDIP, 6 hingga 8 Juni, memasukkan nama AHY di antara nama-nama lain sebagai kandidat yang akan mendampingi Ganjar Pranowo sebagai Cawapres. Memasukkan nama AHY dalam bursa cawapres PDIP, itu sekadar manuver main-main yang semestinya tidak dilihat sebagai sesuatu yang bisa membuyarkan KPP. Boleh jika ditafsir PDIP tengah menguji kesolidan KPP sebagai sebuah koalisi. Di samping itu PDIP perlu tampil tampak sebagai partai inklusif di tengah kekakuannya selama ini, yang seolah mampu berjalan sendiri tanpa partai pendamping sekalipun. Karenanya, penyikapan atas manuver PDIP itu pun mesti disikapi sewajarnya. Tidak perlu berlebihan.


AHY akan menghadiri undangan Puan Maharani. Sekjen kedua partai, Hasto Kristiyanto (PDIP), dan Teuku Riefky Harsya (Demokrat) sudah mengadakan pertemuan awal guna mempersiapkan pertemuan petinggi partainya. Keduanya tampak begitu semringah, dan akrab. Seperti melupakan hubungan buruk di masa lalu. Semua tampil bak aktor berperan sesuai tuntutan skenario. Hasto yang terbiasa bicara jumawa seakan lupa pada omongannya beberapa bulan lalu, bahwa ia "mengharamkan" Demokrat, yang katanya tak mungkin PDIP bisa berkoalisi dengan partai besutan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Politik terkadang diperagakan bak "tai kucing rasa coklat", menjijikkan bagi mereka yang biasa meletakkan moral jadi segala-galanya.


Pertemuan Puan-AHY itu tak akan sampai berdampak bisa mengempiskan KPP, menggoyang pun rasanya tak mungkin. Demokrat tentu berhitung, dan tahu menempatkan posisinya ada di mana. Menerima undangan Puan dan hadir, itu lebih pada bentuk kesantunan politik. Jadi tak perlulah menyikapi pertemuan itu dengan syakwasangka seolah Puan mampu menyihir AHY.


KPP itu koalisi yang sudah digarap matang, sulit untuk digoyang apalagi sampai rontok. Setidaknya sikap awal sudah ditunjukkan Nasdem, PKS dan juga Demokrat, yang mengalami tekanan persoalan dalam berbagai hal, dan itu tidak menyurutkan langkah menghadirkan perubahan di 2024. Sedang partai di luar KPP justru masih mencari-cari bentuk, dan boleh disebut lebih sebagai koalisi-koalisian. Sengaja disebut koalisi-koalisian, karena belum bisa disebut koalisi sebenarnya, sifatnya baru penjajakan. Langkah penjajakan yang dicomblangi atau di-cawe-cawei Presiden Joko Widodo (Jokowi). Karenanya, pantas jika disebut baru tahap kumpul-kumpul, yang bisa berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya.


KPP jelas sebagai koalisi sesungguhnya. Memenuhi syarat untuk disebut demikian. Parameter untuk disebut sebagai koalisi sudah memenuhi syarat, baik persyaratan konstitusi (parliament threshold) maupun kelayakan bersekutu dengan menghadirkan antitesa perubahan versus keberlanjutan pembangunan. Tidak sekadar kumpul-kumpul dan secepat kilat meninggalkan satu dengan yang lain tanpa kesantunan politik. Itu bisa dilihat dari Koalisi Indonesia Bersatu (KIB), PAN, Partai Golkar, dan PPP, yang kelahirannya seperti bayi tak diinginkan, langsung mbrojol. Mengagetkan karena dengan satu pertemuan para ketua umumnya, sudah cukup untuk mengumumkan kelahirannya. Soal siapa capres yang akan dipilih dan diperjuangkan, belum dibicarakan.


KIB lebih dipercaya sebagai kumpul-kumpul dalam arahan Presiden Jokowi. Lebih dipersiapkan untuk tiket Ganjar Pranowo, jika ia tidak dicalonkan PDIP. KIB diibaratkan ban serep untuk memastikan keikutsertaan Ganjar dalam Pilpres 2024. Tiga partai itu seolah diombang-ambingkan, bukan oleh kepentingannya, tapi lebih pada penghambaan pada Jokowi.

Halaman:

Komentar