Muncul Gugatan di MK: Syarat Jadi Presiden, Wapres, DPR, Diminta Minimal Sarjana

- Rabu, 03 September 2025 | 22:05 WIB
Muncul Gugatan di MK: Syarat Jadi Presiden, Wapres, DPR, Diminta Minimal Sarjana


GELORA.ME -
Seorang advokat bernama Hanter Oriko Siregar menggugat Undang-undang Pemilu dan Pilkada soal syarat minimal lulusan SMA atau sederajat untuk mendaftar menjadi calon presiden, wakil presiden, kepala daerah, hingga anggota dewan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Ia mempertanyakan relevansi syarat tersebut dengan kondisi saat ini.

Permohonannya teregister dengan nomor perkara 154/PUU-XXIII/2025. Ia menguji Pasal 169 huruf r, Pasal 182 huruf e, Pasal 240 ayat (1) huruf e UU Pemilu serta Pasal 7 ayat (2) huruf c UU Pilkada. 

Sidang pendahuluan gugatan tersebut digelar pada hari ini, Rabu (3/9) di ruang sidang panel MK. Dikutip dari laman resmi MK, sidang pendahuluan itu dipimpin oleh Hakim Konstitusi Arief Hidayat.
Berikut bunyi-bunyi pasal yang digugat:

  • Pasal 169 huruf r UU Pemilu: "Persyaratan menjadi calon Presiden dan calon Wakil Presiden adalah: (r) “berpendidikan paling rendah tamat sekolah menengah atas, madrasah Aliyah, sekolah menengah kejuruan, madrasah Aliyah kejuruan, atau sekolah lain yang sederajat."
  • Pasal 182 huruf e UU Pemilu: "Anggota DPD adalah perseorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 181 dapat menjadi Peserta Pemilu setelah memenuhi persyaratan: (e) “berpendidikan paling rendah tamat sekolah menengah atas, madrasah Aliyah, sekolah menengah kejuruan, madrasah Aliyah kejuruan, atau sekolah lain yang sederajat."
  • Pasal 240 ayat (1) huruf e UU Pemilu: "Ayat (1) Bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota adalah Warga Negara Indonesia dan harus memenuhi persyaratan”: (e). “berpendidikan paling rendah tamat sekolah menengah atas, madrasah Aliyah, sekolah menengah kejuruan, madrasah Aliyah kejuruan, atau sekolah lain yang sederajat."
  • Pasal 7 ayat (2) huruf c UU Pilkada: "Ayat (2) Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: (c) “berpendidikan paling rendah sekolah lanjutan Tingkat atas atau sederajat."

Menurut pemohon, pasal-pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 22E ayat (1); Pasal 28G ayat (1); Pasal 28I ayat (4) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (UUD 1945). 

Dia mengaku berhak dipimpin oleh presiden dan wakil presiden, serta seluruh jabatan lainnya oleh orang yang cakap, berintegritas, dan memiliki kemampuan intelektual yang memadai untuk mengelola negara. Menurut pemohon, saat ini standar minimal pendidikan untuk jabatan-jabatan tersebut terlalu rendah. Padahal di sisi lain, negara justru mewajibkan guru Sekolah Dasar minimal lulusan dengan pendidikan sarjana.

Menurutnya, syarat pendidikan yang terlalu rendah berdampak terhadap kualitas keputusan strategis negara yang langsung kepada rakyat.

"Pemohon dengan kesadaran penuh, meminta dan memohon kepada Mahkamah untuk menguji Persyaratan Pendidikan minimal SMA sederajat untuk seluruh jabatan sebagaimana dalam permohonan a quo apakah telah memenuhi asas rasionalitas, asas proporsionalitas, dan asas meritokrasi yang tidak bertentangan dengan konstitusi dalam merajut pertanggungjawaban untuk memenuhi tugas dan tanggung jawab sesuai yang diamanatkan oleh konstitusi kepada setiap pemangku jabatan," jelas Hanter Oriko.

Adapun dalam petitumnya, pemohon meminta Pasal 169 huruf r; Pasal 182 huruf e; dan Pasal 240 ayat (1) huruf e UU Pemilu bertentangan secara bersyarat dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai:  

  • Pasal 169 huruf r UU Pemilu berbunyi, “berpendidikan paling rendah lulusan sarjana strata satu (S-1) atau yang sederajat”. 
  • Pasal 182 huruf e UU Pemilu berbunyi, “berpendidikan paling rendah lulusan sarjana strata satu (S-1) atau yang sederajat”. 
  • Pasal 240 ayat (1) huruf e UU Pemilu berbunyi, “berpendidikan paling rendah lulusan sarjana strata satu (S-1) atau yang sederajat”.

Mahkamah juga diminta agar menyatakan Pasal 7 ayat (2) huruf c UU Pilkada bertentangan secara bersyarat dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai: “berpendidikan paling rendah lulusan sarjana strata satu (S-1) atau yang sederajat”.

Nasihat Hakim


Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih mengatakan terkait dengan pengujian Pasal 169 huruf r UU Pemilu, telah dimaknai oleh Putusan MK Nomor 87/PUU-XXIII/2025.

"Telah diajukan dan kemudian ditambah/diperluas dengan beberapa norma lainnya, lalu ini apa bedanya? Hal ini harus dikaitkan dengan ketentuan yang termuat dalam Pasal 60 UU MK dan Pasal 72 PMK 7/2025. Kenapa tidak mendorong ke proses legislasi untuk memasukkan persyaratan pendidikan tersebut sebagai bentuk partisipasi publik kepada pembentuk undang-undang. Ini harus dijelaskan dengan bangunan argumentasi yang kuat, bagaimana MK dapat bergeser dengan putusannnya itu," jelas Enny.

Sementara Hakim Konstitusi Anwar Usman menyebutkan agar Pemohon menelaah kembali permohonan yang dinyatakan ditolak oleh MK pada Putusan MK Nomor 87/PUU-XXIII/2025. 

"Lalu pada permohnan ini diminta syarat bagi calon capres dan cawapres disamakan untuk tingkat DPR, DPRD. Saudara harus bisa memberi narasi, padahal tingkatannya berbeda. Wilayah yang harus diperjuangkan lebih besar, beda dengan presiden dan wakil presiden. Di mana letak kerugian Pemohon dengan berlakunya tiga norma ini?" jelas Anwar.

Kemudian Hakim Konstitusi Arief dalam nasihatnya meminta Pemohon untuk dapat membuktikan perbedaan permohonannya dengan Putusan MK Nomor 87/PUU-XXIII/2025. 

"Ada yang berbeda agar tidak ne bis in idem. Bisa alasan permohonan atau dasar hukumnya atau tidak dikatakan tidak dapat diujikan kembali. Lalu legal standing perlu ditambahkan dan terkait dengan ini merupakan kewenangan pembuat-undang-undang, jadi syaratnya apa kalau memang mau diujikan ke MK. Narasinya jika tidak diubah MK, maka akan masalah. Misalnya melanggar HAM, kalau tidak ada maka Mahkamah tidak bergeser dari pendiriannya," terang Arief.

Perkara 87/PUU-XXIII/2025 yang disinggung Hakim tersebut adalah pengujian terkait Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Pemohon meminta MK menjadikan syarat pendidikan minimal sarjana untuk menjadi calon Presiden dan Wakil Presiden.

Pemohon dalam perkara itu adalah Hanter Oriko Siregar (konsultan hukum) dan Horison Sibarani (mahasiswa).

Dalam putusannya, MK menolak gugatan itu. Sebab, aturan syarat pendidikan paling rendah/minimum bagi calon presiden dan calon wakil presiden tidak bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945.

Sumber: kumparan

Komentar