NGAWUR! Menteri Kabinet Prabowo Mau Pelintir Sejarah Pemerkosaan Massal 1998

- Jumat, 13 Juni 2025 | 21:40 WIB
NGAWUR! Menteri Kabinet Prabowo Mau Pelintir Sejarah Pemerkosaan Massal 1998




GELORA.ME - Menteri Prabowo Subianto yang merupakan Menteri Kebudayaan RI Fadli Zon diduga hendak memelintir sejarah Indonesia. 


Fadli Zon mengungkapkan tidak ada pemerkosaan massal yang terjadi dalam tragedi Mei 1998.


Adapun pernyataannya ini saat ditanya soal penulisan revisi buku sejarah Indonesia yang minim soal sejarah perempuan.


Dia mengeklaim tidak ada bukti kuat terkait adanya pemerkosaan massal tersebut.


"Kalau itu menjadi domain kepada isi dari sejarawan. Apa yang terjadi? Kita gak pernah tahu, ada gak fakta keras kalau itu kita bisa berdebat."


"Nah, ada perkosaan massal. Betul gak ada perkosaan massal? Kata siapa itu? Itu gak pernah ada proof-nya (bukti). Itu adalah cerita. Kalau ada, tunjukkan. Ada gak di dalam buku sejarah itu? Gak pernah ada," katanya.


Bahkan, Fadli sempat mengaku telah membantah terkait temuan TGPF di era Presiden Habibie soal pemerkosaan massal saat Mei 1998.


Dia justru menegaskan perlunya adanya fakta sejarah yang bisa mempersatukan bangsa.


"Saya sendiri pernah membantah itu dan mereka tidak bisa buktikan. Maksud saya adalah, sejarah yang kita buat ini adalah sejarah yang bisa mempersatukan bangsa dan tone-nya harus begitu," pungkasnya.


Pernyataan Fadli Zon pun ternyata berbeda dengan fakta yang ada. 


Pasalnya sejarawan terkait perempuan, Ita Fatia Nadia membeberkan fakta terkait adanya perkosaan masal pada Mei 1998.


Sehingga Ita mengatakan pernyataan Fadli tersebut telah melakukan kebohongan publik.


Fakta adanya pemerkosaan terhadap perempuan saat Mei 1998 itu juga sudah tertulis dalam buku sejarah dan temuan dari tim gabungan pencari fakta (TGPF) era Presiden ke-3 RI, BJ Habibie.


"Apa yang dikatakan Fadli Zon adalah dusta. Fakta perkosaan massal tertulis jelas di Buku Sejarah Nasional Jilid 6 halaman 699, termasuk temuan TGPF yang diserahkan ke Presiden Habibie," ujarnya dalam pertemuan daring di YouTube Koalisi Perempuan Indonesia, Jumat (13/6/2025).


Bahkan, temuan TGPF tersebut merupakan tonggak awal mula lembaga independen seperti Komnas Perempuan.


Ita mengungkapkan pernyataan Fadli tersebut juga wujud pembangkangan terhadap negara.


Pasalnya, sambung Ita, tragedi Mei 1998 termasuk dengan segala peristiwa di dalamnya seperti pemerkosaan massal sudah diakui negara sebagai pelanggaran HAM berat.


"Presiden Jokowi pun ada 2023 menetapkan 12 pelanggaran HAM berat masa lalu, termasuk Mei 1998, melalui rekomendasi PP HAM. Fadli sebagai menteri justru mengingkari keputusan negara," jelasnya.


Ita juga mengungkapkan kematian aktivis perempuan sekaligus korban pemerkosaan Mei 1998 yang bernama Ita Martadinata menjadi bukti adanya tindakan amoral tersebut.


Bahkan, dia juga mengaku ada sejumlah korban menghubunginya untuk bertanya apakah perlu untuk bertestimoni terkait peristiwa pemerkosaan yang dialaminya.


Menurutnya, beragam fakta tersebut menjadi bukti bahwa peristiwa pemerkosaan saat tragedi Mei 1998 benar-benar terjadi.


Sehingga, dia mendesak agar Fadli meminta maaf terkait pernyataannya yang menyebut tidak adanya pemerkosaan pada Mei 1998.


"Fadli bahkan membantah temuan TGPF yang diakui negara. Ini bentuk pengkhianatan terhadap korban," ujarnya.


Sementara itu Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia Usman Hamid menyebut pernyataan Fadli Zon yang membantah adanya pemerkosaan massal 1998 ngawur. 


Pasalnya tragedi pemerkosaan saat kerusuhan tahun 1998 bukanlah rumor karena sudah diakui negara.


"Saya kira itu bukan rumor dan kenapa bukan rumor? pertama, karena ada otoritasnya jadi kalau definisi rumor itu adalah semacam cerita atau laporan yang beredar luas di dalam masyarakat tanpa ada otoritas yang mengetahui kebenarannya secara faktual, ada otoritasnya," kata Usman.


Padahal, menurut Usman, peristiwa pemerkosaan massal dan kekerasan seksual terhadap perempuan di masa-masa kerusuhan Mei telah diputuskan secara bersama oleh Menteri Pertahanan, Panglima Angkatan Bersenjata, Menteri Kehakiman, Menteri Dalam Negeri, Menteri Luar Negeri, Menteri Negara Peranan Wanita, dan Jaksa Agung.


Sumber: Tribun

Komentar