Beathor Suryadi Menduga Ijazah Jokowi Buatan Jalan Pramuka Salemba bukan UGM

- Selasa, 10 Juni 2025 | 11:50 WIB
Beathor Suryadi Menduga Ijazah Jokowi Buatan Jalan Pramuka Salemba bukan UGM


GELORA.ME -
Isu lama soal keaslian ijazah mantan Presiden Joko Widodo (Jokowi) kembali mencuat, kali ini dengan lontaran tudingan dari Beathor Suryadi, seorang politikus senior PDI Perjuangan. Dalam pernyataannya yang cukup mengejutkan, Beathor menduga bahwa ijazah sarjana milik Jokowi bukan berasal dari Universitas Gadjah Mada (UGM) seperti yang selama ini diklaim, melainkan produk palsu yang berasal dari kawasan Jalan Pramuka Salemba, Jakarta—sebuah daerah yang kerap diasosiasikan dengan praktik pemalsuan dokumen.

Ia menyebut bahwa beberapa kejanggalan dalam dokumen akademik Jokowi selama ini belum pernah dijawab tuntas, baik oleh pihak UGM maupun oleh Jokowi sendiri.

“Saya menduga itu (ijazah Jokowi) bukan keluaran UGM. Ada indikasi kuat bahwa itu buatan Jalan Pramuka Salemba. Semua orang tahu, kalau bicara soal dokumen palsu, tempat itu legenda,” ujar Beathor kepada wartawan, Selasa (10/6/2025)

Beathor menyebut bahwa dirinya tidak asal menuduh. Ia mengklaim telah mengumpulkan sejumlah bukti tidak langsung dan testimoni dari beberapa mantan aktivis mahasiswa UGM angkatan 1980-an yang menyatakan tidak pernah mengenal sosok bernama Joko Widodo selama masa kuliah.

“Kami sudah lama mengendus ini. Ada aktivis tua dari UGM yang bilang: tidak ada Jokowi waktu itu di kampus. Lalu fotonya mana, makalahnya mana, organisasi kampusnya mana? Presiden sebesar itu harus bisa dibuktikan historinya,” tambah Beathor.

Pihak UGM sendiri sebelumnya telah beberapa kali mengeluarkan klarifikasi resmi bahwa Jokowi memang tercatat sebagai alumni Fakultas Kehutanan dan lulus pada tahun 1985. Beberapa tokoh kampus, termasuk mantan dosen dan rekan seangkatan, pernah menyatakan mengenal Jokowi secara langsung semasa kuliah.

Namun demikian, tudingan ini tidak pernah benar-benar mati. Sejak Pilpres 2014, rumor mengenai dugaan ijazah palsu ini berulang kali digunakan sebagai senjata politik untuk menyerang kredibilitas Jokowi. Beathor adalah salah satu dari segelintir tokoh yang tetap mempersoalkannya di saat mayoritas elite politik telah menganggap isu ini selesai.

Tuduhan Beathor menyoroti Jalan Pramuka Salemba sebagai “lokasi pembuatan ijazah palsu” menambah dimensi baru dalam polemik ini. Wilayah tersebut memang sudah lama memiliki reputasi buruk sebagai tempat yang menyediakan jasa pembuatan dokumen palsu, mulai dari KTP, SIM, hingga ijazah sarjana.

“Itu bukan rahasia lagi. Banyak wartawan sudah membuktikan, kalau punya uang, Anda bisa dapat ijazah dari universitas ternama dalam semalam di sana. Persis di sekitar Salemba dan Jalan Pramuka,” ungkap Beathor.

Namun, hingga kini belum ada bukti konkret yang menghubungkan lokasi tersebut dengan dokumen milik Presiden Jokowi. Tuduhan seperti ini tetap berada di ranah spekulasi jika tanpa dukungan investigasi yang solid dan data forensik dokumen.

Polemik ini memancing kembali perhatian publik yang kini lebih waspada terhadap politik pascareformasi dan masa pascapemerintahan Jokowi. Di media sosial, topik “ijazah palsu Jokowi” kembali naik daun, bersamaan dengan munculnya kembali potongan video-video lama dari pengacara Bambang Tri Mulyono yang dulu sempat menggugat keaslian ijazah Jokowi di pengadilan, namun gugatannya ditolak Mahkamah Agung karena dianggap tidak memiliki legal standing.

Para netizen terbelah. Sebagian menganggap isu ini hanya upaya menjatuhkan reputasi Jokowi menjelang Pilpres 2029, di mana nama Gibran Rakabuming—putra sulung Jokowi—digadang-gadang akan maju. Namun, tidak sedikit pula yang menuntut audit terbuka dan independen terhadap seluruh dokumen akademik para pejabat negara.

Tudingan Beathor Suryadi membuka kembali luka lama yang belum benar-benar sembuh. Di era keterbukaan informasi, publik tentu berhak mendapatkan kejelasan dan transparansi. Namun dalam konteks hukum dan etika, tuduhan serius seperti ini juga menuntut pembuktian yang sahih dan bertanggung jawab.

Jika tidak, maka isu seperti ini hanya akan menjadi senjata politik murahan yang memperkeruh ruang publik tanpa kontribusi terhadap demokrasi yang sehat. Namun jika benar, dampaknya bisa mengguncang fondasi legitimasi politik era Jokowi—sebuah bab baru dalam sejarah Indonesia pascareformasi.

Sumber: jakarta1

Komentar