GELORA.ME - Blak-blakan, eks petinggi Polri sebut pihak yang ingin memecah belah bangsa.
Hal itu diutarakan Penasihat Kapolri Irjen Pol (Purn) Aryanto Sutadi saat Indonesia Lawyers Club dengan tema IJAZAH JOKOWI: POLEMIK TANPA AKHIR, Kamis (29/5/2025).
Menurutnya, ada pihak yang ingin mengadu Presiden Megawati Soekarnoputri dan Joko Widodo.
Selain itu, ada upaya untuk mengadu Polri, TNI dan Kejaksaan.
"Ya, jangan sampai kita itu terprovokasi dengan berita-berita begini-begini, kemudian kita saling bertentangan. Karena itulah yang dibikin oleh invisible hand, ya, yang ingin menghancurkan negara kita. Negara kita itu sekarang lagi diadu-adu semua, diadu. Bu Mega diadu dengan Pak Jokowi, TNI diadu sama Polri, TNI diadu sama jaksa, sama polisi, dan sebagainya," tegas Aryanto dalam sebuah diskusi terbuka, Jumat (30/5/2025).
Menurut Aryanto, konflik yang terjadi saat ini sudah tidak lagi sehat.
Bahkan ia menilai ada pihak-pihak yang sengaja membenturkan Roy Suryo dengan Universitas Gadjah Mada (UGM).
"Nah, sekarang ini Pak Roy diadu dengan UGM. Kan itu yang terjadi."
Mantan Kapolda Sulawesi Tengah ini menjelaskan bahwa polemik mengenai ijazah Presiden Jokowi ini pada dasarnya adalah sebuah tuduhan serius yang seharusnya diselesaikan secara hukum, bukan di media sosial atau ruang publik semata.
"Kasus ini yang terjadi adalah tuduhan bahwa Pak Jokowi itu ijazahnya palsu. Itu pokok masalahnya. Tuduhan itu merupakan satu tindak pidana kalau tidak terbukti. Jadi kasus ini masih harusnya masuk ke bagaimana cara penyelesaiannya menurut hukum. Karena negara kita negara hukum, tidak bisa diselesaikan lewat media," jelasnya.
Aryanto mengaku mengikuti isu ini sejak awal, dan prihatin melihat perdebatan yang justru tidak produktif.
"Saya sendiri yang ngikuti masalah ini hari demi hari, karena saya sering diundang di TV. Ini kok kayak orang bertengkar, seperti orang yang enggak dengar satu sama dengan yang lain. Ini ngomong ini, ini ngomong ini. Saya sendiri bingung," kata mantan Deputi Bidang Pengkajian dan Penanganan Sengketa Badan Pertanahan Nasional (BPN) ini.
Menurutnya, saat ini yang terjadi adalah pertarungan antara dua kubu: mereka yang membenci Presiden Jokowi dan mereka yang mendukung atau simpatik.
"Yang bertengkar ini ialah antara kelompok yang benci dengan Jokowi melawan kelompok yang simpatik."
Ia menyebutkan bahwa keramaian polemik ini justru terjadi di media sosial dan wacana-wacana publik, yang berpotensi menimbulkan ekses sosial-politik lebih luas.
"Kalau keramaian ini dibiarkan, nanti akan terjadi benturan di bawah, dan eksesnya... ini sudah memalukan seluruh dunia. Nama UGM jatuh gara-gara dituduh Pak Roy bahwa ini dia kongkalikong untuk menyembunyikan ijazahnya Pak Jokowi, berkolusi dengan Pak Jokowi. Dulu skripsinya enggak ada, diada-adakan. Itu kan yang terjadi."
Aryanto bahkan mengungkapkan keprihatinannya atas sorotan dunia internasional.
"Saya kemarin banyak baca YouTube dari Amerika sana. 'Inilah presiden Indonesia yang hebat,' ternyata dia memalsukan ijazah. Seluruh dunia tahu ini. Inilah yang saya anggap sangat berbahaya kalau diterus-teruskan."
Dalam polemik ini, ia menyoroti perbedaan pendekatan yang digunakan oleh dua kubu yang berseberangan.
"Di satu sisi, yang menuduh bahwa ijazah itu palsu menggunakan alat bukti yang pakai teorinya para penduduk itu—teori scientific, digital, dan sebagainya. Sementara pihak yang pro atau simpatik dengan Pak Jokowi menggunakan alat bukti yang sesuai dengan hukum yang berlaku."
Ia mengingatkan bahwa alat bukti dalam hukum pidana tidak hanya terbatas pada bukti digital, tetapi harus merujuk pada dokumen sah dan keterangan saksi.
"Di dalam KUHAP, alat bukti itu bukan hanya digital. Yang digital itu hanya alat bantu. Alat bukti yang dipakai itu adalah saksi, dokumen, petunjuk, dan keterangan ahli. Dan terakhir, ditambah dengan bukti-bukti elektronik."
Ia menyebut bahwa dalam penyelidikan, sebenarnya metode pembuktian melalui laboratorium forensik (Labfor) bukanlah suatu keharusan mutlak.
"Saya bilang kemarin ke Bareskrim: kalau membuktikan dokumen seperti ini, enggak perlu pakai Labfor. Cukup dengan menelusuri ke dosen, pendaftaran, daftar nilai, dan semua yang mendukung—itu semua bisa dirangkum dan cukup,” katanya.
Aryanto juga menanggapi kritik dari pihak pelapor yang mempertanyakan validitas hasil penyelidikan Bareskrim.
Ia mengingatkan bahwa pembuktian dalam hukum tetap harus berdasarkan mekanisme yang sah.
“Kalau Anda ingin bandingkan dengan teori ilmiah, ya silakan. Tapi tidak bisa semua orang harus ikut metode Anda. Itu bukan cara hukum bekerja. Apalagi kalau nanti ternyata tuduhannya tidak terbukti, maka risiko sosial dan moralnya sangat besar,” ujarnya.
Sebagai penutup, Aryanto mengimbau agar semua pihak menahan diri dan menghormati proses hukum yang sedang berjalan.
“Kalau masyarakat terus diadu dan diprovokasi, maka kita semua yang rugi. Ini bukan sekadar soal dokumen, tapi soal keutuhan bangsa," katanya.
👇👇
Sumber: Tribun
Artikel Terkait
Irma Suryani Minta Polri Tangkap Roy Suryo Cs: Agar Polemik Ijazah Ini Cepat Usai!
Survei Ijazah Jokowi Dikecam, Pengamat Pertanyakan Etika Lembaga Riset: Logikanya Aneh!
Roy Suryo Cs Tak Berkutik? Analis Asli Ungkap Fakta Soal Skripsi Jokowi!
Terdaftar sebagai Sarjana Muda, Jokowi akan Dilaporkan Lagi terkait Dugaan Skripsi Palsu!