GELORA.ME - Pertanyaan tentang mana yang akan lebih dahulu diproses antara laporan Tim Pembela Ulama dan Aktivis (TPUA) terhadap dugaan ijazah palsu Presiden Jokowi, dan laporan balik Presiden ke-7 RI itu terhadap para pelapor atas tuduhan penghinaan, bukan sekadar pertanyaan hukum.
Ia adalah cermin dari dinamika kuasa, kecepatan respons lembaga penegak hukum, dan eksistensi prinsip kesetaraan di depan hukum.
Di satu sisi, laporan TPUA masuk lebih dahulu ke Bareskrim Mabes Polri, berangkat dari keresahan publik terhadap keabsahan ijazah Jokowi.
Di sisi lain, Jokowi sebagai pihak yang merasa dirugikan memilih melaporkan balik lima orang yang dianggap telah “menghina sehina-hinanya” dirinya.
Yang menarik, kedua laporan ini terkait isu yang sama: keaslian ijazah Jokowi.
Namun yang satu mengusik status hukum presiden, sementara yang lain mencoba membungkamnya lewat jalur pencemaran nama baik.
Secara logika sederhana, semestinya laporan yang lebih dulu masuk seharusnya lebih dulu pula diproses.
Namun dalam praktik, hal itu kerap tidak linier. Kasus ini menyentuh langsung martabat seorang presiden aktif.
Maka tidak mengherankan jika laporan Jokowi ke Polda Metro Jaya akan mendapat prioritas dari institusi penegak hukum, entah karena tekanan struktural, loyalitas institusional, atau bahkan kalkulasi politik.
Hal ini menghadirkan ironi. Tuduhan terhadap ijazah palsu bukan soal personal belaka, melainkan menyangkut legalitas dan moralitas seorang mantan pemimpin tertinggi negara.
Bila benar terbukti palsu, hal ini akan mengguncang legitimasi dua periode pemerintahan.
Namun anehnya, publik justru dihadapkan pada serangan balik: para penuduh dikriminalisasi lebih dulu daripada penyelidikan terhadap substansi tuduhan mereka.
Kasus ini menyentuh langsung martabat seorang mantan presiden yang kelakuannya masih seperti presiden aktif.
Maka tidak mengherankan jika laporan Jokowi ke Polda Metro Jaya akan mendapat prioritas dari institusi penegak hukum, entah karena tekanan struktural, loyalitas institusional, atau bahkan kalkulasi politik.
Presiden Jokowi menyebut ini bukan balas dendam politik, melainkan upaya mencari keadilan dan pembelajaran publik.
Namun pernyataan ini terasa janggal jika dibandingkan dengan kecepatan polisi merespons laporan balik tersebut, dibandingkan dengan laporan awal TPUA yang hingga kini belum juga menunjukkan progres signifikan di ruang publik.
Apakah ini bentuk selektivitas penegakan hukum? Apakah kita sedang melihat hukum yang lebih tajam ke bawah?
Respons Roy Suryo pun tak kalah menarik. Ia menyambut laporan itu dengan nada satir, menyebutnya “semakin lucu”, sembari menegaskan bahwa ia siap membongkar kasus ini hingga ke akar-akarnya, termasuk soal skripsi yang selama ini tak pernah muncul ke permukaan.
Artinya, narasi ini belum selesai. Bahkan bisa membesar, apalagi jika pengadilan benar-benar dibuka dan publik diberi akses.
Pernyataan Presiden terpilih Prabowo Subianto dalam konteks ini juga mengandung ambiguitas.
Di satu sisi, ia ingin meredam isu ijazah dengan menyebut “kenapa masih disoal?”, tapi di sisi lain, ia justru ikut menyulut kontroversi baru dengan membela Jokowi di tengah laporan hukum yang belum rampung diselidiki.
Ini bukan hanya soal solidaritas politik, tetapi juga soal keberpihakan terhadap kebenaran atau sekadar menjaga kesinambungan kekuasaan.
Pada akhirnya, pertanyaan “mana yang lebih dahulu diproses” bukan semata urusan administratif. Ia menyentuh urat nadi integritas demokrasi kita.
Jika laporan Jokowi lebih cepat diproses daripada laporan awal TPUA, maka publik akan semakin skeptis bahwa hukum tidak berjalan pada rel netralitas, melainkan diatur oleh siapa yang lebih berkuasa.
Hukum bukan alat untuk membungkam kritik, tetapi jalan mencari kebenaran.
Maka jawaban terbaik atas pertanyaan ini adalah: proseslah keduanya secara adil, transparan, dan proporsional—dimulai dari laporan substansial, bukan reaksi emosional.
Karena bila tidak, bukan hanya ijazah yang dipertanyakan, tapi juga ijazah demokrasi kita.
Sumber: FusilatNews
Artikel Terkait
Menjawab Teka-Teki Pertemuan Presiden Prabowo Dengan Purnawirawan TNI AD di Tengah Isu Pemakzulan Gibran
Pakai Software Canggih, Rismon Sianipar Yakin Ijazah Jokowi Palsu Saat Temukan Keanehan Ini!
Gawat! Wapres Gibran Mau Dilengserkan, Jenderal Dudung Was-Was Manuver Seniornya di TNI, Kenapa?
INFO! Hasan Nasbi Batal Mundur & Kembali Berkantor di PCO, Apa Alasannya?